Anak adalah Titipan

Memiliki anak, membesarkan serta mendidiknya memang bukan pekerjaan mudah bagi ibu. Jika anak hanya semata wayang mungkin sedikit terkurangi bebannya. Kalau lebih dari satu tentu saja butuh pengawasan dan pendampingan ekstra.

Satu hal yang paling mendasar yang coba saya terapkan adalah "mencegah lebih baik dari pada mengobati".

Bercermin dari curhatan seorang teman dalam sebuah pertemuan ia bercerita. Katanya, 

"Orangtuanya tak pernah mengizinkannya menemui teman-temannya. Bila ada teman yang berkunjung ke rumah, ibunya membisiki agar temannya tersebut segera disuruh pulang. 

Ibu melarangnya ngpbrol berlama-lama. Apalagi sampai bercanda tertawa dan lain-lainnya. Kata ibu cukup yang penting saja. Setelah itu suruh temanmu pulang. 

Padalah rumah temannya itu sangat dekat. Mereka bertetangga. Orangtua mereka salong mengenal dengan baik sementara anaknya tidak diizinkan bertemu dan berteman dalam waktu yang agak lama. 

Ia sangat berharap punya sejumlah teman, main bola bersama, main sepeda bersama, main game bersama, dan ngobrol tentang apa saja bersama temannya. Tapi kedua orangtua mereka melarangnya. 

Anak itu sangat sedih. Hingga pada suatu hari ia bertekad untuk menemui temannya apapun yang terjadi. 

Kemudian ia mengatakan pada ibunya bahwa akan ada ujian. Padahal ia hanya beralasan. Ibunya kemudian mengizinkannya berangkat. 

Padahal kenyataanya mendatangi temannya saja.  Mereka bermain bersama dengan gembira. Permainan yang menjadi bayangannya akan membuatnya senang dimainkan. Saking asyiknya bermain, hingga malam hari baru anak itu pulang. 

Ketika sampai di rumah ibunya bertanya kenapa pulang sangat terlambat. Untuk menyembunyikan apa yang telah dilakukannya anak itu pun berdusta dengan memberikan alasan yang masuk akal. 

Anak itu heran, kenapa ibunya tidak sadar bahwa ia sangat butuh teman, sahabat . Mengapa dalam hal berteman saja ibunya begitu ketat."

Anak yang diceritakan di atas adalah anak laki-laki. Kebutuhan anak laki-laki bergaul di liar rumah memang lebih penting dari pada anak perempuan. Mengingat anak laki-laki nanti akan bekerja di luar rumah ketika sudah dewasa. 

Teman saya yang lain juga pernah bercerita tentang anak juga. Namun kali ini anak perempuan. 

"Suatu ketika ia dikunjungi beberapa teman. Kebetulan ada sejumlah uang dalam dompet. Dengan uang itu ia bersama temannya belanja ke toko terdekat. Belanja makanan ringan saja. 

Saat itu mereka hanya berdua. Ibunya kebetulan tidak ada di rumah. Pada saat mereka sedang menikmati makanan ringat tersebut, ibunya datang. 

Ibunya marah besar pada anak perempuan itu. Ia sangat ketakutan dan tak menghiraukan perasaannya. 

Mendengar perkataan ibunya dengan kemarahannya, temannya pergi. Ternyata tidak sampai di situ saja. Ibunya kemudian mendatangi sekolahnya dan mengatakan pada teman-temannya agar jangan lagi mengunjungi anaknya dan menghabiskan uang anaknya untuk jajan.

Maka temannya pun satu persatu menjauhinya. Kini ia sangat malu telah diremehkan oleh teman-temannya. 

Sehingga sejak hari itu, ia menjadi perempuan yang pendiam, penyendiri, tak mau lagi berangkat ke sekolah."

Dua curhatan teman saya inilah yang menjadikan saya begitu berhati-hati dalam mendidik dan membimbing anak saya. 

Jangan sampai saya sebagai seorang ibu salah langkah terlalu mengekang anak. Walau pun dalam hati kecil kekhawatiran terhadap pergaulannya dengan teman-temannya mungkin saja akan merusak dan memperngaruhi perilakunya. 

Waspada tidak hanya berjalan sehari dua hari. Sebulan atau dua bulan. Itulah perjuangan terbesar sebagai orangtua. 

Tapi bagaimana pun, anak adalah anugerah amanah yang dititpkan oleh yang maha kuasa. Tugas kita sebagai orangtua hanyalah berusaha sebaik mungkin dan berdoa agar tetap menjadi anak yang terjaga hingga mereka besar dan dewasa sebagaimana mestinya. Menjadi yang terbaik tentunya. 

Komentar