Misteri Tobatnya Pemburu Biawak

Tak sengaja, beberapa hari lalu aku bertemu teman lama. Ia bertamu ke rumahku. Tampilannya kali ini sungguh berbeda. Biasanga dengan kaos oblong, jaket kulit yang entah sudah berapa bulan tidak dicuci. Baunya ampun! Campuran keringat dan air seni binatang mungkin. 

Setiap kali bertemu, ingin rasa menutup hidung. Namun tak tega kalau saja menyinggung perasaannya. 

Dengan baju koko biru tua, sarung kotak-kotak. Sayangnya masih sama seperti biasa. Berjalan tanpa alas kaki.

Katanya suatu ketika, "Kakiku harus bersentuhan dengan tanah, biar kajianku tak ruah (ilmuku tak hilang-red)."

Ada-ada saja! Memangnya ada ilmu kesaktian yang akan hilang dengan menggunakan sandal. Yang ada benar, kaki kotor oleh debu dan beceknya tanah. 

"Memangnya ada hajat apa nih?" tanyaku setelah omongannya hilir mudik sebagai basa-basi. 

"Kan gini...," sahutnya. Lama terhenti ucapannya. Tangannya meraih kopi hangat di hadapannya. Kemudian menggambil rokok lalu menyulutnya. Aku pun ikut menyulut, membiarkannya mengumpulkan keberanian. 

"Aku mau minjam uang," lanjutnya setelah kami sama-sama menikamati kepulan asap rokok yang sebenarnya tak nikmat sama sekali. Yang ada malah menggerogoti kesehatan kami.

"Berapa?"

"Kalau ada sih sejuta saja. Buat bayar utang. Sudah lama nih aku tidak kerja seperti biasa."

Oh iya, ia adalah pemburu biawak. Pekerjaannya keluar masuk hutan, berkerilaran di tepi sungai dan telaga memasang jebak biawak. 

Di tempat kami memang sangat banyak biawak. Besar-besar, maklum kondisi hutan dan belukarnya walaupun tidak begitu lebat, masih sangat luas. Jadi biawak masih mampu berkembang biak dengan aman dan jumlahnya banyak.

Cara yang dilakukannya termasuk unik. Dengan menggunakan umpan dari bangaki ikan, dikaitkan pada pancing dengan senar tali rem atau seling kendaraan. Umpan yang sudah terkait tersebut ditaruh di sepanjang tepian sungai. 

Naluri berburunya memang sangat hebat. Ia sangat tahu biawak itu akan lewat mana. Sehingga hampir dipastikan setiap umpan yang dipasang akan dimakan biawak. Ia adalah orang satu-satunya yang tersisa sebagai pemburu biawak di daerah kami.

Biasanya, ketika biawak tersebut memakan umpan dan nyangkut pada kail yang ia pasang, aku pernah beberapa kali menyaksikan. Sungguh mengerikan!

Dengan keterampilannya, biawak tersebut dipegang lehernya kemudian tanpa melepaskan kawat pancing yang nyangkut di mulutnya, biawak itu dikelupas kulitnya. Caranya dengan membelah dari bagian leher, kemudian menorehkan ke arah ekor. 

Dalam keadaan hidup biawak itu ditelanjangi kulitnya. Sangat kejam memang, aku sampai bergidik gak tega menyaksikan kekejaman itu. Sungguh-sungguh tidak berperikebinatangan. 

Seandainya disbelih atau dibuat mati dahulu mungkin saja masih wajar. Tapi ini benar-benar dalam keadaan hidup. Tak ada setetes darah pun keluar dari tubuh biawak itu. Ngeri banget.

Setelah itu, biawak dilepaskan dari pancing di mulutnya. Sontak saja biawaknya lari. Bayangkan saja, dalam keadaan tanpa kulit penutup badannya, bagaimana ia bertahan hidup?

"Kenapa tidak dimatikan saja, kan kasihan tuh biawaknya," tanya saya.

"Nanti juga mati sendiri," sahutnya enteng. 

Dasar orang ini benar-benar gila! Bagaimana perihnya biawak itu jika saat lari ada batu, kerikil atau apa saja yang tajam mengenai tubuhnya. Bayangkan! Tanpa kulit penutup badannya....

Pekerjaan itu dilakukannya bertahun-tahun. Entah mengapa ia begitu gigih bertahan dalam pekerjaan ini. Memang sih, dari satu kulit biawak yang ia dapat akan dihargai mahal oleh pengepul yang sesekali datang mengambail barang itu di tumahnya. Di mana memasarkannya, aku sendiri tak pernah menanyakan. Yang terpikirkan hanya, alangkah kejamnya. Itu saja....

"Bagaimana bisnis biawaknya?" tanyaku sebelum masuk ke kamar mengambilkan uang.

Di sinilah masalahnya. Ia kemudian bercerita tentang mengapa ia berhenti dari berburu biawak. 

Pada suatu malam katanya, ia terbangun dari tidur. Saat itu tengah malam, masih dini hari. Ia terkejut oleh sebuah mimpi. 

Katanya, "Aku bermimpi kulitku sedang dikoyak-koyak oleh beberapa orang. Perihnya tidak ketulungan. Digorok dari leher, kemudian dibedah lewat tulang belakang. Setelah itu kulitku dikelupas. Perihnya sungguh tak mampu aku ceritakan."

"Terus!?" tanyaku penasaran.

"Beruntungnya aku terbangun. Coba saja jika mimpi itu benar-benar terjadi. Pasti sakitnya hingga hari ini masih aku rasakan," lanjutnya.

"Setelah itu kamu berhenti cari biawak?" tanyaku lagi. Aku bergidik tak henti-hentinya. Air liurku rasanya mencair. 

"Saat itu aku tak pedulikan mimpi itu. Mana mungkin aku percaya mimpi. Mimpi kan bunganya tidur. Buat apa juga dipercaya,"

"Sudah dapat mimpi seperti itu masih belum kapok juga?"

Ia malah tertawa, "Kalau aku tak berburu biawak. Keluargaku makan apa?"

Ia kemudian meminum sisa kopi yang masih separo, lalu menyulut sebatang rokok lagi. Aku hanya diam menanti cerita lanjutannya. 

"Akhirnya aku berhenti," tiba-tiba ia memecah kesunyian.

Dalam benakku masih terbayang bagaimana biawak yang tanpa kulit berlari ke dalam hutan menyelamatkan diri. Pasti juga mati.

"Saat itu aku dapat biawak sangat besar. Mulanya aku kira buaya. Tapi setelah aku dekati memang benar-benar biawak. Makanya aku coba mengelupas kulitnya."

Ia kemudian menarik napas panjang lagi sambil mengepulkan asap rokoknya.

"Saat itu aku dibuat takut setengah mati. Inilah yang membuat aku kapok setengah mati."

"Memangnya kenapa?"

"Pisau yang biasa kugunakan untuk mengoyak kulitnya itu tak mempan sama sekali. Padahal sebelum berangkat telah aku asah tajam. Sangat tajam dari biasanya malah."

"Jangan-jangan memang karena kulitnya sangat tebal. Maklum biawak besar."

"Tidak, ini benar-benar tak mempan. Saat aku berusaha memaksa. Malah pisaunya meleset ke arah tanganku. Nih lihat bekasnya."

Benar-benar ada luka memanjang di lengannya. Kelihatan dari bekas lukanya, luka itu sangat dalam. 

"18 jahitan kemarin itu."

"Ha ha ha ha...," aku tertawa tak kuasa menahan geli. 

Dalam hati, rasain lo. Kerjaannya mengelupas kulit biawak. Sekarang gimana rasanya kalau pisau itu mengenai kulitmu.

Semenjak itu aku bersumpah tak akan mencari biawak lagi. Berapa pun harga kulitnya. Ya, beginilah akhirnya. Berbulan-bulan aku kerja serabutan. Pekerjaan yang memang belum aku biasakan.

Merasa iba, akhirnya aku masuk ke kamar kemudian menyerahkan uang dua juta. Satu juta untuk bayar utang. Sisanya untuk membeli perlengkapan menangkap ikan. Dia menyetujuinya. 

Setelah ia pulang, aku hanya tersenyum getir. Harusnya jika ingin berubah ya mbok yo berubahnya sekalian. Makai baju koko sarungan, tapi tetap nggak sendalan. Ya kotor akhirnya lantai rumahku. Wkwkkwk....

Sumber gambar: Gurdo.ngawikab.id

Komentar