Ketika Sekian Banyak Snakehead Hadir, Aku Berdiri di Titik Nadir

Seorang pernah memberi nasihat, "Teruslah berjuang hingga ajal datang, perbaharui yang sudah usang."

Sabtu, 
Pukul 07.00

Pagi ini, pasti suatu saat yang akan menjadi waktu paling sejarah bagiku. Betapa tidak! Mimpi seorang pemancing adalah mendapatkan spot yang bagus, cuaca yang mendukung, dan pulang membawa banyak ikan. 

Mimpi itulah yang membuatku segera membuka mata begitu kokok ayam pertama memanggil penghuni dunia. 

Bayangan ikan snakehead akan berbaris ditepi telaga dalam kondisi lapar dan setiap saat siap menyambar umpan apapun yang berada di dekatnya memaksa diriku untuj melupakan sarapan pagi. 

Bahkan kopi pun serasa jadi penghalang. Meneguknya berarti telah memperlambatku berjumpa dengan mimpi indah yang telah menanti.

Joran tegek lengkap dengan piranti khusus untuk snakehaed tersangkut siap di motor. Sejak tadi malam dipersiapkan. 

"Assalamu'alaikum. Aku berangkat, Sayang!" Pamitan pada mantan pacar tak lupa aku lakukan serta berharap mendapatkan senyum menawan dengan iringan doa untuk keselamatan. 

Ia tak pernah berharap aku mendapatkan ikan yang banyak. Baginya yang penting keluar rumah, berusaha. Soal hasil biarkan takdir menentukan segalanya. 

Pukul 07.30

Mimpi kadang menjadi kenyataan. Mimpiku adalah ikan snakehead berbaris di tepi telaga. Benar-benar berbaris. Tak terhitung berapa jumlah. Mereka bermain berkejar-kejaran. 

Saking jernihnya telaga saat air begitu surut, terlihat jelas walau ikan-ikan itu berada dua jengkal di bawah air. Menggeliat-geliat melemaskan badan. Tak seperti kita asyik tidur menyambut kehadiran mentari.

Semangat yang menggebu sejak malam hari kini akan tuah ruah menjadi satu dalam tarikan dan sendalan ikan snakehead yang keras. 

Telunjuk sudah siap-siap dengan perban agar begitu mengambil pancing dalam mulut ikan tidak tergores gigi tajamnya. Kecepatan dan kesigapan sangat dibutuhkan untuk mendaptkan hasil maksimal. 

Pukul 07.40

Umpan dan pancing lepas dari tangan tepat berada di mulut ikan paling besar. Kira-kira ukuran pergelangan kaki orang dewasa. Ikan yang lebih kecil pun banyak. 

Keserakahan di mana pun tempatnya akan hadir menyambangi siapa saja. Termasuk saya. Meskipun tidak salah, kalau boleh memilih siapa saja pasti akan memilih yang terbanyak, yang terbesar, dan yang terbaik. 

Ikan tak bergerak. Terlihat bola matanya menoleh pun tidak. Beberapa saat aku diamkan. Jangan-jangan ikan sedang mengambil ancang-ancang. Benar! Ikan timbul ke permukaan. Aku sembunyikan badan. Mindik-mindik agar tidak mengejutkan ikan. 

Satu menit, dua menit, tiga menit .... Tidak ada tanda-tanda umpan akan dimakan. 

Maka perlahan-lahan umpan aku angkat. Mencari yang lebih kecil beberapa jengkal di sebahnya. Ikan melengos menjauh. 

Adakah yang salah dengan umpan yang aku berikan? Geliat cacing segar harusnya ikan sudah memyambar. Kali ini benar-benar hambar. 

Pukul 08.10 

Saya pun tidak kehabisan akal. Jangan-jangan karena proses makannya saya saksikan, ikan malu berbuat rakus di depanku. Tidak seperti sebagian kita. Jika sudah rakus, rakus saja. Tak peduli di hadapan siapa. Entah di hadapan seluruh rakyat Indonesia. Kerakusan seakan kerasukan dan tertaman di badan.

Pengalaman kemarin membuktikan, dengan umpan belalang ikan mau makan. Saya coba cari belalang. Perjuangan mendapatkan satu belalang sunguh bukan merupakan hal yang gampang. Menangkap dengan tangan kosong seperti petani yang membajak tanah tanpa cangkul dan traktor. Ceker-ceker tanah dengan tangan kosong....

Pukul 08.40

Setelah berjuang sekian lama, setelah menerjang rerumputan lengan dan kaki tergores daun banta (rumput yang tajam di sisi daunnya) perih dan perih terlupa dua belalang dalam genggaman siap dijadikan umpan.

Keserakahan kali ini benar-benar sirna. Ikan snakehead terbesar kabur entah kemana. Tinggal yang kecil-kecil seukuran baterai tak terhitung jumlahnya. 

Seperti parada belalang. Satu persatu umpan diletakkan ke mulut ikan. Tak satu pun ikan yang mau menerkam. Sepertinya mereka telah sepakat, "Hei! Kau serakah. Enyah!" Begitulah mungkin sumpah serapahnya kepadaku.

Aku jadi malu sendiri. Mengapa serakah begitu kuat tertanam di jiwa ini. Kali ini aku benar-benar telah ditelanjangi. Bukan oleh sahabat dekat, bukan oleh ustadz hebat. Tapi oleh ikan sejenis yang kemarin telah aku embat dengan nikmat.

Pukul 10.00 

Mentari kian menyengat. Seluruh tubuh dibanjiri keringat. Hati kecewa berat. Bayangan kaleng cat akan penuh sesak, lenyap!

Untung  sak gunung melengos menggelundung, buntung njegegrek koyo mendung

Kaleng cat kosong melompong. Jangankan ekor snakehead. Sisiknya saja tak ada. Ikan-ikan itu kini sedang tertawa. Mereka pasti.sangat bahagia telah berhasil memperdaya. Aku yakin mereka tidak sedang menganiaya. Hanya ingin aku mengambil sebuah pelajaran berhaga. 

Pukul 10.10

Aku terpaksa pulang dengan perasaan hampa. Alangkah mimpi ternyata hanyalah bayangan semata. 

Untuk mengusir kecewa maka aku sempatkan memetik beberapa genggam kangung sawah yang tumbuh liar di pematang dan di pinggir jalan. Demikian juga genjer, serta palilak (batang tanding). 

Dalam hati aku berkata, "Jika tak ada ikan yang mau aku jadikan masakan dan aku makan. Biarlah kangung, genjer, dan palilak ini yang menemani nanti santap siang. Yang pentong perut kenyang."

Pukul 11.12

Sebelum sampai ke rumah, aku sempat berpapaan dengan seorang bapak tua. Berjalan kaki menenteng sepeda. Beberapa ikat jagung segar bersusun di stang sepedanya. 

Bapak tua itu tersenyum ke arahku. Mungkin ia berharap ada receh yang aku punya untuk sekedar membeli jagung jajaannya. 

Aku pun berhenti dan mengeluarkan uang duapuluh ribuan. "Pak beli jagung duapuluh ribu, dapat berapa?"

Aku sungguh tak berpikir nanti dapat berapa biji atau berapa ikat. Yang penting bapak itu bangkit semangatnya untuk berjalan lagi menjajakan jagungnya setelah ada pembeli yang membeli jagungnya.

Jika aku tidak dapat ikan karena rejeki memang sedang tak bersahabat denganku. Masih ada kangkung, genjer, dan palilang yang bisa aku masak. Lalu bapak tua itu? Jika tidak ada yang membeli jagung yang dijajakanya. Siapa yang akan memberinya beras untuk makan hari ini atau sore nanti beserta keluarganya?

Setelah sekian banyak nikmat yang Allah berikan, lalu nikmat lagi yang engkau dustakan!

Sumber gambar: bjn.wikipedia.org

Komentar

Posting Komentar

Terima kasih telah berkenan membaca dan meninggalkan pesan