Tenggelamnya Harapan dalam Banjir yang Menggenang

Siang bolong seketika berubah jadi gelap gulita. Segelap harapan orang desa. Baru saja reda setelah hujan semalaman mengguyur semua kepala. Tak ada yang tersisa.

Mimpi musnah tak seperti biasa. Dalam kepala mereka, "Nanti malam harus siap-siap angkat kasur dan tilam. Air pasti masuk rumah."

Pengalaman telah membuktikan, sebulan lalu musnah semua perabotan rumah. Terendam banjir ketika asyik terlelap dalam mimpi. Kaget, tiba-tiba dingin dan air telah merendam separo lantai kamar. 

Hari ini petir kembali bersahutan, padahal padi baru saja terhampar dalam lambakan. Membuat anak padi yang ke tiga kalinya. Kalau sampai terendam, musnahlah seluruh harapan. "Apa yang harus aku lakukan!"

Bijak penyuluh pertanian biasanya orang pertama di desa yang panen. Memberi contoh keberhasilan sebuah sistem kelola sawah. Tahun ini tak satu pun usahanya berhasil. Empat kali menanam padi. Ke empat-empat kalinya gagal.

Usaha pertamanya, tikus menyebar memakan hampir semua hamparan padi. Satu malam habis, batang padi putus dari gagangnya. Isyarat apa ini? kata Bijak dalam hati.

Aku tak boleh menyerah, demikian ucapannya mengingatkan diri sendiri. Kalau aku yang jadi contoh para petani kalah melawan hujan dan banjir, siapa lagi yang harus memotivasi dan memberi semangat pada petani?

Usaha ke dua, lambakan padinya habis sebelum di tanam. Ulat telah melahap ana padi di bawah terpal lambakannya. Hanya berselang seminggu setelah padi dihamparkan pada bedengan. Keringat mengucur di kening. Apa yang harus aku lakukan? 

Usaha ke tiga, agak mendingan. Padi telah ditanam. Dua bulan setengah dilakukan perawatan, sambil sesekali mengumpulkan anggota kelompok tani. Mengajak mereka melihat tanaman padi percontohan. 

Sambutan hangat dari petani melegakan hatinya. Akhirnya sebagian besar petani memulai melambak padi pada benengan untuk bibit tanaman. Ingin mengikuti jejak Bijak uang telah berhasil. Padi sudah mulai bunting. Benerapa bulan lagi padi akan menguning. Dan panen. Impian bahagia tergambar dari wajah mereka.

Namun, untung tak dapat diraih. Malang tak dapat ditolak. Hujan deras berhari-hari telah memupuskan harapan Bijak dan angggota kelompoknya. Sawah tenggelam. Banjor menggenang. Sampai merendam pekarang, rumah dan ranjang. Bencana alam. 

"Apa yang harus kita lakukan, Pak?" tanya Bejo membuyarkan lamunan Bijak.

"Sudah tiga kali saya gagal tanam, Pak. Saya juga tak tahu harus berbuat apa lagi," jawab Bijak raut wajahnya muram. 

"Bapak enak, setiap bulan dapat gaji dari pemerintah. Sementara kami? Tak sepeserpun penghasilan."

Langit semakin gelap. Kilat dan petir bersahut-sahutan. Membuat Bijak dan Bejo beringsut dari teras depan. Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam rumah Bejo. 

Kopi kental hangat yang tersuguh tak mampu menghangatkan hatinya. Singkong rebus berasap tak mampu melegakan perasaanya. 

Malam ini banjir mungkin akan menggenangi. Mereka akan tertidur di atas atap rumah atau mengungsi lagi di barak-barak yang disediakan pak Camat. Tapi, bagaimana mungkin setahun terjadi banjir berkali-kali? Apa yang salah dengan desa ini?

Mungkinkah langit sedang menghukum bumi dengan menenggelamkannya berkali-kali? Mungkinkah kita semua sedang diuji? Mereka berdua terdiam menunduk dalam pikiran masing-masing. 

Suara denting air menerpa seng, atap rumah Bejo makin melenyapkan suara percakapan mereka berdua. Tak ada yang tahu pasti obrolan apa yang selanjutnya akan terjadi. Adakah topik menarik selain berdiam diri? 

Sumber gambar: Hipwee.com

Komentar