Pahlawan Corona, Katanya

Wing... Wing ... Wing ....
Diiringi kedap kedip kilatan lampu berwarna merah tua dan biru bergantian. Ambulans perlahan mendekat. 

Kerumunan pelayat di rumah Pak Biduman yang tadinya duduk perlahan berdiri serempak tanpa dikomando. 

"Dokter Fariz datang. Ayo dipersiapkan," kata salah seroang pelayat. 

Mereka kemudian mengejae ambulans tersebut. Berkerumun dari jarak jauh. Tak berani mendekat.

"Hati-hati, pasang masker. Jangan sampai tertular," perintah yang lain. 

Atikah, istri dokter Fariz sejak tadi pagi berkali-kali pingsan. Padahal ada bayi dalam kandungan. Janin 5 bulan itu harus kehilangan ayahnya.

Corona telah membuat cintanya berantkanan. Kekasih tersayang melayang. Anak yang bakal tak punya ayah. Orang tua kehilangan anak kesayangannya. 

Muhammad Yusuf, anak pertama 5 tahun ini hanya melongo. Ada apa gerangan. Siapa orang yang ada dalam mobil itu. Mengapa banyak orang berkerumun memakai masker. Bagi Yusuf, pasti ada selamatan. Ia hanya kenal semalatan dan mantenan. 

Maklum tinggal di desa, jauh dari kota. Bila banyak orang berkumpul pasti ada hajatan perkimpoian atau selamatan perayaan keagamaan. Baginya saat itu adalah makan enak. Ayam masak gulai dengan nasi yang masih mengepul. 

Yusuf tak mengerti kalau ayah tersayangnya telah jadi pahlawan. Berjuang membantu pasien positif corona di puskesmas tempat mereka tinggal. 11 kilometer dari rumahnya. 

Petugas kesehatan keluar dari mobil, dengan tandu ambulans. Memakai seragam putih, tergeletak mayat dalam kantong plastik panjang terbungkus rapi. 

Para pelayat mundur beberapa langkah, refleks mereka lakukan. Dari wajah mereka tampak ketakutan. 

Dari dalam rumah suara tangisan terdengar samar-samar. Atikah dan ibunya kadang ketika siuman hanya menyuarakan tangisan, tak lama kemudian pingsan. Ketika siuman lagi hanya bisa menangis. 

Bagaimana tidak berdua, suami tercinta mengorbankan dirinya demi orang lain. Berkali-kali minggu lalu terjadi pertentangan dalam rumah tangga mereka. 

Atikah tak setuju suaminya dr. Fariz ikut dalam tim dokter yang terjun melakukan perawatan pasien positif corona. Panggilan nurani sang dokter mengalahkan rasa ibanya pada tangisan dan rengekan Atikah istri tercinta. 

Berujung duka. Berkali-kali juga nasihat Pak Budiman orang tuanya diacuhkan. Bagi Faris, menolong orang sakit adalah tugas seorang dokter. Kalau bukan dokter yang melakukan kewajibannya siapa lagi yang akan melakukan. 

Tangisan Ibunda Aminah, tak sedikit pun mengurangi niatnya. Akhirnya dengan derai air mata melepas Fariz melaksanakan tugasnya. 

Penyesalan itulah yang menjadikannya pingsan berkali-kali. Sementara Pak Budiman tak bisa berbuat banyak. 

Setelah disalatkan dalam rumah, jenazah kemudian dikembalikan ke mobil ambulans untuk prosesi pemakaman. 

Tak ada wajah terlihat untuk terakhir kalinya. Tak ada prosesi ciuman kening bagi sang mayat seperti yang biasa dilakukan anggota keluarga. Tal ada keluarga yang mengantar ke pemakaman. Hanya petugas kesehatan. 

Mobil ambulans pun pergi. Meninggalkan duka dan perih hati. Rumah pak Budiman perlahan sepi, satu persatu pelayat pulang ke rumah masing-masing.

+++++

Waktu pun berjalan, sungguh bagi Atikah, Yusup bocah lima tahun, dan Aminah ibunda tersayang sangat lambat. 

Prosesi pemakaman mereka saksikan lewat tayangan Hp, mengenaskan memang. Harusnya keluarga memberikan tabur bunga. Memasangkan  bati nisan tanda conta untuk terakhir kalinya. Tak ada sama sekali. Hanya air mata dan isak tangis yang tak henti-hentinya.

Sementara itu, berita kematian dr. Muhammad Fariz tersebar lewat media sosial. WA milik Atika tak henti-hentinya berdenting. Pesan masuk bertubi-tubi. Tak sempat dibukanya sama sekali. 

Menjelang sore, setelah semuanya selesai. Atika baru sempat menahan tangisnya. Kini tak lagi pinsan. Mata sembab sungguh sangat terlihat. Sambil memeluk Yusuf yang belum tau apa-apa. Yusuf tak sadar ayah tercinta telah tiada. 

Menjelang malam, pesan WA pun dibuka. Kebanyakan dari temannya dan teman almarhum Fariz. 

Satu persatu pesan WA dibaca. Mbak, turut berduka cita ya, mohon maaf tak bosa datang melayat. Saya temannya dokter Fariz, dahulu dia sangat cerdas, kami sering mencontek ketika ujian.  

Mbak, saya kenal dekat dengan Fariz, kami sering salat fardu berjamaah ketika sama-sama.sekolah. Fariz sangat ramah Mbak. 

Mbak, Fariz dahulu selalu juara satu. Saya tak pernah mampu mengingguli prestasinya.

Tak sempat habis semua pesan WA dibaca, Atikah sesenggukan menahan tangis. Tak tega pada Yusuf yang sejak tadi memperhatikannya.

Bagaimana mungkin suami yang sangat lembut pada istri meninggalkannya lebih dahulu? Bagaimana mungkin orang ramah suaminya dipanggil oleh Yang Kuasa dengan cara sedemikian rupa. 

Petanyaan-pertanyaan memenuhi kepala Atikah. Penyesalan dan rasa tak terima masih memenuhi hatinya.

Karena suaminya, dahulu pekerjaan kesenangannya menyulam terpaksa ia tinggalkan. Mengajari anak-anak mengaji pun terpaksa berhenti setelah menjadi istri seorang dokter. Perempuan desa, taat pada suami adalah perintah ibunya. Semua kegiatan ia hentikan. Kadang selepas maghrib hanya Yususlah yang sempat diajari mengaji. 

Kini ia harus berjuang sendirian membesarkan Yusuf dalam pangkuan, dan janin 5 bulan. Dalam hati kini Atikah pasrah, Tuhan tak tinggal diam. Suaminya orang baik, menjadi pahlawan covid-19 pasti akan mendapat balasan yang setimpal atas semua jerih payahnya. 

(Cerita ini fiktif belaka, terinspirasi dari merebaknya covid-19 di Indonesia.)

sumber gambar: industri.id

Komentar