Menelisik Pancasila di Depan Cermin!

Suatu kali saya berdiri di muka cermin, kemudian terpikir hal-hal yang bagi orang lain mungkin dianggap tidak wajar. 

Pada saat berdiri di muka cermin, si cantk rupa, si gagah, dan yang biasa-biasa akan memperhatikan wajahnya dalam cermin. Bagaimana dengan mereka yang buruk rupa (maaf) yang cacat, sumbing misalnya. (Bukan ingin melecehkan, hanya sekedar perumpamaan saja) 

Apakah yang diperhatikan mereka yabg buruk muka ketika berdiri di depan cermin? Saya pikir, ketiga model wajah ini tetap akan memperhatikan keburukannya. Si cantik dan si gagah akan menelisik bagian dari wajah yang dianggapnya merusak kecantikan dan kegagahannya.

Noda dan bentuk yang dianggapnya buruk akan sangat menggangu perasaannya. Bagaimana dengan mereka yang buruk rupa. Begitu banyak keburukan tampak pada cermin.

Kalau pangkat, kedudukan, kekayaan, kecerdasan, kepintaran, dan perbuatan ibarat emas permata yang ada dipunggung cermin. Sedangkan mereka yang menyukai cermin, tidak akan melihat emas dan permata. Wajah mereka senantiasa menghadap ke cermin.

Mereka menyukai cermin, karena ia adalah cermin. Mereka melihat keindahan luar biasa  yang tidak membosankan pada cermin itu. 

Orang yang buruk rupa dan cacat hanya akan melihat keburukan pada cermin. Karena itu ia akan segera memalingkan wajahnya dari cermin itu untuk mencari emas dan permata di balik cermin.

Sekarang apa ruginya cermin andai punggung cermin dihiasi ribuan macam ukiran dan dilapisi emas permata?

Semua akan menjadi nampak jelas ketika sesuati disandingkan dengan kebalikannya. Kira mungkin saja tidak mengetahui sesuatu tanpa mengetahui kebalikannya. 

Baiklah, kita perjelas. Kebalikan yang dimaksud adalah lawan kata, jika dalam istilah bahasa. Misalnya baik - buruk, cantik - jelek, kaya - miskin, pintar - bodoh, dan seterusnya. 

Kembali kepada tiga perumpamaan tadi. Mereka yang berwajah cantik dan tampan, akan mengamati kekurangan yang ada pada wajahnya. Dianggap sangat menggangu kecantikan dan kegagahannya. Maka terpikirlah untuk melenyapkan. 

Dalam kejadian sehari-hari kira perhatikan bagaimana mereka yang sudah terlihat sangat cantik menurut ukuran kita, ternyata masih malakukan operasi plastik. Bukankah dalam hatinya menganggap bahwa ternyata keburukan, kecil dan sedikit sekali padahal, namun sangat mengganggu?

Mereka yang memiliki wajah biasa saja, pasti juga akan memperhatikan bentuk dan noda yang tak sesuai dengan harapannya. 

Sering terdengar mengeluh, "Seandainya hidungku lebih mancung sedikit, bibirku lebih tipis lagi, bulu mataku lebih lentik, dan seterusnya."

Apalagi mereka yang buruk rupa, seberapa banyak yang menjadi celaannya? Atau malah lebih asyik menikmati bingkai yang ada pada cermin?

Bukankah tidak ada manusia yang sempurna! Tapi mengapa masih ingin kesempurnaan? 

Banyak alasan ketika mereka berada di depan cermin kemudian ditanya, "Apa yang masih kurang dari wajah yang sudah ada itu?"

"Aku ingin menarik perhatian dengan wajah ini. Aku ingin orang menyukaiku dengan wajah ini, aku ingin, dan aku ingin...." Semaki banyak pertanyaan dilontarkan, maka akan semakin banyak jawaban diberikan. Semua merupakan pembenaran atas tindakan yang dilakukan.

Selain itu, yang paling menggugah rasa adalah pada saat melihat keburukan pada wajahnya dengan membandingkannya pada orang lain. Tak lupa siselingi ungkapan kejelekan yang ada pada orang lain tersebut. 

Bukankah kecenderungan kita mengungkapkan kejelekan orang lain, daripada memuji kebaikannya?

Buruk muka cermin dibelah! Begitukah yang terdapat dalam pikiran kita ketika cermin tak mampu menghadirkan kesempurnaan lahir yang tampak pada cermin?

Kita selesaikan soal wajah cantik, tampan, sedang dan buruk ketika berada di depan cermin. Kalau analoginya kita perluas pada perilaku dan perbuatan kita, apakah akan mirip dengan perbuatan tarjadi pada saat berada di depan cermin? Mencari keburukan orang lain, apakah begitu mengasyikkan?

Setiap tahun, sejak kelahirannya Pancasila telah menjadi ideologi bangsa. Ideologi, artinya kumpulan ide-ide dasar, gagasan, keyakinan dan kepercayaan yang sifatnya sistematis sesuai dengan arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara. 

Bukankah sebuah bangsa merupakan kumpulan individu? Dari beberapa individu berada dalam sebuah keluarga, kemudian rukun tetangga, rukun warga, dan selanjutnya dalam tatanan masyarakat menjadi sebuah desa, kecamatan, kabupaten dan seterusnya hingga kita sebut sebuah bangsa. 

Jadi tidak ada sebuah bangsa tanpa dimulai dari hadirnya sebuah keluarga. Mengapa begitu sulit menanamkan pada hati kita? 

Mari kembali kita berdiri di depan cermin dengan wajah Pancasila. Apakah termasuk dalam bentuk wajah yang cantik, tampan, biasa saja, atau buruk? 

Seperti halnya perumpamaan pada bagian pertama tulisan ini, si tampan tetap saja memperhatikan keburukan secuil apa pun lada wajahnya yang tampak pada cermin. Ketidakpuasan  menjadi sebab keinginan untuk melentapkan sekecil apa pun noda yang ada. Hingga berpikir tentang operasi plastik dan sebagainya. 

Memangnya letak salahnya ada di mana? Oh iya. Kalau saya juga membutiri salahnya di mana, lalu apa bedanya saya dengan mereka yang berdiri di depan cermin tadi. 

Bukan cermin yang salah, bukan juga wajah yang tampak pada cermin yang salah. Sepertinya keinginan yang tak terpuaskan itulah yang jadi masalahnya. Bukankan keinginan tak akan pernah terpuaskan hingga masuk lobang kuburan?

Lantas apa yang sebaiknya kita lakukan? Apa pun yang ada, tak ada yang sempurna. Di samping sekian banyak keburukan yang tampak, pasti masih lebih banyak lagi kebaikan yang tersembunyi yang belum digali. 

Apalagi Pancasila adalah karya manusia, tentu saja banyak sekali kelemahannya. Namun, sudahkah kita sebagai individu yang mengaku memiliki ideoologi Pancasila mempraktikkan nilai ideologi yang kita yakini tersebut dalam kehidupan sehari-hari? Saya sendiri belum berani mengatakan "Ya".

Mari kita ambil satu contoh saja, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Kita mengetahui, bahwa bahwa dalam sila pertama ini mengakui adanya Tuhan, sudah kita laksanakankah perintah dan larangan Tuhan dengan sempurna? Jujur saja, jawabnya pasti belum. Lebih sering tergelincir daripada jalan lurusnya kita lalui.

Jadi yang salah sebenarnya bukan wajah cantik. tampan, biasa, atau buruk. Masalahnya terletak pada rasa bersyukur yang masih belum melekat pada hati dan jiwa. 

Hanya tampak keburukannya, sementara keindahan dan kebaikkannya terlupakan. Hingga sampai saat ini akhirnya belum.sempat menikmati bagaimana indahnya. 

Terakhir, cermin! Memang hanya sebuah kaca. Ketika cermin masih mampu menampilkan bentuk yang tergambar pada cermin, kemungkinan masih bisa dilakukan perenungan dan perbaikan. 

Ketika cermin sudah kusam, tak tampak lagi baik dan buruk. Pada saat itulah kita berada dalam kesesatan. Tak mampu lagi membedakan mana yang baik dan buruk.

Dan akhirnya Pancasila yang menjadi Ideologi Bangsa hanya akan menjadi perdebatan yang tiada akan ada habisnya. Demikian, Salam.***
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar