Menjatuhkan Pilihan? Dengan Kekuasaan Memilih, Anda Pilih yang Mana

Saat di hadapan kita begitu banyak pilihan sangat sangat menggoda. Sementara kita memiliki kuasa untuk melakukan pemilihan. Kira-kira pilihan kita jatuh pada yang mana?

Dikisahkan sepasang suami istri, pekerjaannya pemulung. Setiap selesai salat subuh mereka bergegas mengejar tumpukan sampah. 

Tak ada istilah sarapan bagi mereka. "Hidup memang keras," kata suaminya. "Nanti saja jika sudah terasa lapar mendekat ke penjual nasi bungkus. Makan bukan karena jam, tapi karena lapar."

Mereka tak mengenal makan pagi, makan siang, apalagi makan malam. Bila lapar, ada makanan dimakan. Bila tak ada ditahan, hingga ada uang untuk membeli makan. 

"Beruntung kami tak memiliki anak," katanya. "Coba ada anak. Mereka yang pertama dipikirkan dahulu makannya."

Tidak punya anak, masih berkata beruntung. Apalagi kemalangan yang lebih malang dari pada tak memiliki keturunan. Mereka tak pernah berpikir, jika tua nanti bagaimana? Siapa yang akan mengurus mereka ketika sudah tak berdaya? 

"Hidup mati ada di tangan Tuhan. Jika mati, tak mungkin dibiarkan tergeletak. Pasti akan ada orang yang tak tahan mencium baunya. Hingga terpalsa dimakamkan." Kepasrahan yang bago sebagian orang tak masuk akal. 

Pada suatu pagi, seperti biasa. Korek-korek tumpukan sampah di penampungan akhir,  berebut dengan rekan sejawatnya. Siapa gang datang lebih dahulu merekalah yang lebih banyak mendapat rejeki. "Kalau sampai terlambat maka rejeki akan lebih dahulu dimakan burung.

Begitu menemukan tas bekas, kotor di tempat sampah mereka berdua kaget. Tak ada surat menyurat identitas pemiliknya. 

Mereka saling berpandangan. Kemudian toleh kiri. toleh kanan tak ada orang yang memperhatikan. Bergegas dompet tersebut dimasukkan dalam karung plastik milik mereka. 

Menjelang siang. merasa sudah lapar dan sampah yang dikumpulkan cukup mereka pun pulang setelah mampir di warteg membeli dua bungkus nasi. 

Begitu masuk rumah, ras dalam karung plastik dibuka dan isinya begitu mencengangkan. Uang! Mereka tak pernah melihat tumpukan uang sebanyak itu. 

"Kita apakan uang ini?" kata suaminya.

"Kita pakai saja itu rejeki dari Allah buat kita," jawab sang istri. 

"Bukan, ini bukan milik kita. Kita pikirkan nanti bagaimana cara mengembalikannya." 

Seharian itu mereka membolak-balik uang dalam ras itu. Berkali-kali menghitung dan selalu salah. Maklum seumur hidup tak pernah menemukan uang sebanyak itu. 

Malam itu mereka tak bisa tidur. Takut uangnya hilang. Takut ada orang datang mencuri. Ketakutan dan kebingungan menghantui pikiran mereka berdua. Mau diambil saja, bukan milik mereka. 

Hingga pagi, tak sekejap pun. Menjelang siang, tetap saja mereka berada dalam rumah. Tak berangkat ke tumpukan sampah lagi. 

Sehari, dua hari, tiga hari, hidup mereka tak seperti biasa. Sebelum menemukan tas berisi uang tersebut, setiap hari dilalui dengan damai. Setelah pulang ke rumah biasanya sampah-sampah dipilah dan diantar ke juragan pengepul. 

Pada malam hari setelah makan mereka langsung terlelap kelelahan. Tertidur pulas. Tak berpikir apa-apa! Hanya satu doa terpanjat, "Semoga esok pagi tak hujan."  Itu saja! 

Tapi sekarang, hidup mereka benar-benar tak tenang. Bingung apa yang harus dilakukan. Tidur tak bisa, mulung tak bisa. Hanya uang yang ditemukan itu yang dirundingkannya. Selembar demi selembar uang dibelanjakan untuk sekedar keperluan makan. Namun, setiap malam mereka tak pernah tertidur lelap lagi. 

*****
Di tempat lain seorang anak manusia melakukan sesuatu yang bagi sebagian orang dianggap sebuah prestasi yang tiada duanya. 

Bermodal keterampilan wirausaha, memulai usaha menjual makanan (mohon maaf, aku tak menyebut makanannya agar tidak ada yang tersindir). 

Berkat terampilannya usahanya maju pesat. Bermula dari satu outlet penjualan di bulan pertama, meningkat jadi 5, lalu jadi 10. Hari-hari semakin bersinar. Hingga pada satu tahun jumlah outletnya menjadi ratusan. 

Hampir satu provinsi dikuasai. Tak puas ada sampai di sana. Kini mau merambah provinsi lainnya. Cita-citanya mau meluaskan hingga seluas-luasnya. 

Tanpa ia sadari banyak usaha sejenis perlahan kian sepi. Tak sedikit yang akhirnya mati. Tak mampu bersaing dengan outlet milik orang tadi.

*****

Dua buah cerita yang berbeda. Salahnya ada di mana? Bukankah menemukan tak yang sudah tak ada miliknya dalam keadaan berlumpur tak tahu siapa pemiliknya sulit dikembalikan. Padahal mereka juga kini sedang membutuhkan. 

Tapi mengapa yang terjadi malah, ketenangan berubah total dari kehidupan mereka? Apakah hidup yang cari harta ataukah ketenangan? 

Pendapat kita tentang permasalah itu pasti berbeda. Ada yang memilih harta, tak peduli dengan ketenangan. Baginya jika segala kebutuhan hidup terpenuhi, apalagi dengan harta berlimpah pasti akan tenang. Benarkah?

Siapa pun pasti akan memilih, jika boleh memilih. Karena katanya hidup adalah pilihan. Namun ketika harus memilih salah satu antara tenang dan tpukan harta. Kita akan memilih yang mana?

Lalu bagaimana halnya dengan cerita tentang pengusaha tadi? Apakah dengan membuka sedemikan banyak cabang dan menguasai perdagangan banyak tenaga kerja yang bisa ditampung. Bukankah yang demikian sungguh mulai?

Sekarang bagaimana nasibnya mereka yang tersisih dan tersingkir karena kalah bersaing? 

Dengan pemikiran normal pasti akan mengatakan, "Pasar adalah tempat umum, siapa pun bleh berasing. Jika merasa kalah bersaing harusnya memikirkan usaha lain atau kreatifitas ditingkatkan."

Kita tak tahu seberapa keterbatasan yang dimiliki oleh orang lain. Bagaimana jika mereka yang usahanya tergerus kemudian mati menjadi miskin?

Aku hanya ingin kita memikirkan, apakah pengusaha tadi puas dengan semua keberhasilannya? Entahlah? Soal kepuasan adalah privasi dan perasaan masing-masing. Siapa pun berhak memperoleh kepuasan atas setiap usahanya. 

Terakhir, dari dua kisah yang bertolak belakang tersebut aku hanya ingin menyampaikan sebuah pernyataan, "Jika manusia diberikan padanya satu lembah emas, maka ia masih akan menginginkan lembah kedua, jika lembah ke dua diberikan, maka ia pun masih menginginkan lembah ke tiga, empat dan seterusnya. 

Tak akan pernah merasa kenyang anak adam sebelum perutnya penuh berisi tanah." (Al Hadis, dalam bahasa yang dimodifikasi)

Aku hanya mengetengahkan pemikiran saja. Kita semua dapat mengambil pelajaran dari dua cerita di atas. Apakah hidup ingin tenang atau harta kekayaan? Jika hidup adalah pilihan, pilihlah yang membuat nyaman. Tak usah kita perdebatkan. 

Suatu ketika Talhah, sahabat Rasulullah dibrikan padanya uang dinar yang sangat banyak. Maka semalam suntuk Talhah tak bisa tertidur, meikirkan akan diapakan uang tersebut. 

Maka istrinya kasihan dan membujuk Talhah agar uang tersebut dibagikan semuanya. Agar dapat tertidur dengan tenang. Talhah setuju, malam berikutnya mereka dapat tidur dengan tenang lagi. Demikian. 

Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar