Mata Bisa Melihat Nyata, Ilmu Kuncinya

Kita mungkin pernah mendengar seorang teman yang bercerita ketika selesai melakukan perjalanan, atau membaca, misalnya. Tentang sebuah tempat indah. Mungkin kita sangat tertarik.

Penggambaran sesuatu mendorong orang untuk mendatangi sesuatu itu. Gambaran tentang mekarnya bunga-bunga di taman mendorong seseorang untuk mebdatangi taman. Gambaran tentang mall megah mendorong seseorang untuk mendatangi mall megah. Demikian juga tempat wisata.

Gambaran inilah yang menjadi sarana promosi di segala lini. Iklan-iklan tentang produk yang ditampilkan dengan cara yang apik akan menggugah seseorang untuk mencoba. 

Akan tetapi gambaran seringkali mengecoh. Bukankah kita pernah pergi ke suatu tempat kemudian menyesal dan berkata, "Aku pikir tempat ini baik, ternyata tidak!" atau "Aku pikir tempatnya indah, ternyata biasa saja!" atau "Aku pikir orangnya luar biasa, nyatanya sama saja dengan lainnya!" dan sebagainya. 

Sejatinya, sesuatu yang menjadi daya tarik itu hanya satu. Namun tampak banyak. "Aku ingin makan nasi siang nanti dengan daging, aku makan nasi dengan sayur, minumnya dengan es jeruk, dan seterusnya." 

Jika dibutiri satu persatu tak akan habis semua keinginan itu. Padahal yang memiliki keinginan hanya satu, yaitu mulut ingin makan, karena rasa lapar.

Selesai makan, tentu setelah keinginannya tercapai dan kenyang. Ia menikmati salah satunya, ia akan berkata, "Aku sudah sangat kenyang. Aku tak ingin makanan yang lainnya lagi."

Pada saat kenyang, masihkah gambaran jenis-jenis makanan lezat tadi di kepalanya? Demikian juga dengan keinginannya untuk makan lagi?

Semakin kuat keinginan, maka akan semakin tampak memukau gambaran itu di kepala. 

Seperti seseorang yang menginginkan sebuah mobil. Tergambar, sungguh keren berada di dalam mobil. Menyetir sendiri. Mengelilingi kota-kota dan jalan-jalan sekehendak hati. Tanpa kepanasan, tanpa kehujanan. Beda dengan memakai motor, karena saat ini hanya motor yang ia miliki. 

Yang ia tahu jika berada dalam mobil orang akan kagum kepadanya. Itulah keinginan terbesarnya. Ia lupa, bahan bakarnya jika dibandingkan dengan motor mungkin saja dua kali lipatnya. Mungkin juga lebih. 

Dengan pernak pernik yang harus dipenuhi ketika memiliki mobil. Ia lupa, betapa sulitnya parkir mobil di gang sempit. 

Seperti seseorang yang kehilangan kantong kreseknya. Tercecer saat keluar dari bank. Orang-orang akan mengira kresek yang terjatuh itu sengaja dibuang pemiliknya. Tak ada yang mempedulikan kresek yang tergeletak di pinggir pot bunga. 

Mungkin isi kresek tersebut hanyalah bekas bungkusan makanan ringan yang telah dihabiskan sambil menunggu antrian. 

Padahal pemilik kresek begitu khawatir kalau-kalau sudah ada yang menemukan dan mengambilnya. Gambaran-gambaran yang begitu menyedihkan. Sebuah kehilangan!

Hanya satu keinginanya saat itu.  Semoga tak seorang pun menemukan barang itu. 

Sebuah gambaran yang sama-sama menipu. Nyatanya setelah kresek tersebut ditemukan di meja satpam. Lenyaplah keinginan menggebunya. Gambaran menyedihkan berupa kekhawatiran pun lenyap seketika. 

Berbeda halnya dengan seorang penulis cerpen. Sebelum memulai menulis, sang penulis telah menggambarkan dengan detail isi cerpen yang akan dibuat. 

Dimulai dengan tokoh-tokohnya beserta karakternya. Setting tempat yang akan dijadikan cerita, konflik antar satu tokoh dengan tokoh laninnya, klimas cerita, dan seterusnya, semua sudah tergambar jelas. 

Hingga pada saat cerpen tersebut selesai ditulis, semua gsmbaran yang ada di kepalanya sama persis dengan yang tertuang dalam tulisan.

Mengapa gambaran yang pertama, tentang tempat-tempat indah, tentang kehilangan kresek berisi uang, dan gambaran tentang skenario cerita tadi berbeda?

Peran terpenting dari gambaran adalah pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud bukanlah yang didapat di bangku sekolah. Melainkan pengetahuan yang tersembunyi dalam diri manusia. 

Kita kadang merawat tubuh yang tidak memiliki pengetahuan. Pengetahuan tersebut menjadi sesuatu yang tersembunyi dalam diri kita. Mari cermati orang gila (maaf), dia punya tangan dan kaki, tapi tidak memiliki pengetahuan. Apa yang dilakukannya?

Oleh karena itu, agar perkataan, "Aku pikir tempat ini baik, ternyata tidak!" atau "Aku pikir tempatnya indah, ternyata biasa saja!" atau "Aku pikir orangnya luar biasa, nyatanya sama saja dengan lainnya!" dan sebagainya, tidak keluar dari mulut dengan penuh penyesalan. 

Juga seperti menimbulkan kesadaran ternyata lapar hanya ingin dikenyangkan. Tak memiki keinginan yang sedemikian banyak. Maka jadilah seperti penulis cerpen dan gambaran dan pengetahuan lengkap sehingga mampu mewujudkan gambaran menjadi nyata. Kuncinya, pengetahuan dan pengalaman. 

Inilah mungkin sebabnya mereka yang sudah dewasa dan menjelang tua disebut telah makan banyak asam dan garam kehidupan. Karena dalam kepalanya berisi sekian banyak gambaran yang sedikit mungkin menipu. Tanpa pengetahuan dan pengalaman, Gambaran akan menipu. 

sumber gambar: merdeka.com

Komentar