Ketika Ujian Datang, Siapa yang Mampu Mengelaknya?

Siapa yang mampu memilih, akan terlahir dari rahim yang mana. Akan memiliki orang tua seperti apa. Lahir ya lahir saja. 

Entah terlahir dari orangtua yang jahat, miskin, kaya raya, atau segala yang terpikirkan. Tentu saja tidak akan bisa. 

Orang yang melahirkan kita, itulah ibu kita. Bagaimana pun bentuknya. Bagaimana pun kondisinya. 

Demikian juga, seorang ibu tidak akan dapat meminta anak yang lahir dari rahimnya begini dan bagitu. Lahir ya lahir saja. Bahkan laki dan perempuan saja terserah yang Maha Kuasa.

Kebanggaan orangtua adalah memiliki anak yang terlahir sempurna. Tidak ada cacat sedikit pun. Sayangnya siapa pun orangtua hanya bisa berharap dan berdoa. Al hasil, Tuhan yang Maha Kuasa penentunya. 

Setelah itu, tugas kita hanya menerima dengan kelapangan dada. Walau kadang terbersit penyesalan, andai anakku begitu dan begitu. Wajar, namanya juga manusia. 

Itulah, kadang setiap orang diberi cobaan yang tidak sama. Ada yang diuji dengan kemiskinan, anak cacat, kekayaan, kedudukan, musibah beruntun, dan lain sebagainya.

Pasti dibalik ujian tersebut selalu terselip hikmah yang besar bagi yang terkena. Tetap saja, setiap satu kesulitan akan diapit oleh dua kemudahan. Jika sabar, saatnya akan tiba ujian lepas dari membelenggu kita.

####

Pengalaman mengharukan baru saja terjadi di penghujung tahun ini. Tepat menjelang maghrib. Ketika itu aku sedang pulang mancing naik motor.  

Sebenarnya saat itu aku sedang ngebut. Maklum, biasanya menjelang maghrib jalan memang lengang. Apalagi kiri kanan jalan itu adalah hamparan sawah. Jalan kabupaten yang menghubungkan desa satu ke desa lainnya dalam satu kecamatan.

Panjang jalannya sekitar 4 km. Cukup dekat jika ukuran yang dipakai adalah naik motor atau mobil. Dua kali tancap gas saja sampai. Jalannya lurus. Jadi dari ujung jalan hingga berakhirnya ujung jalan kalau ada orang yang berjalan di tepi jalan terlihat.

Saat itu ada dua orang, seorang ibu dan anak laki-lakinya. Si anak hanya kalungan sarung. Tanpa baju di gandeng sama ibunya.

Sesekali si anak stop dan merobek-robek dedaunan di pinggir jalan. Sambil bercakap-capak.

Dari jauh aku lihat, sepertinya aku mengenal mereka. Tetangga satu desa. Rumahnya juga tak jauh dari rumahku.

Tapi buat apa mereka berdua ada di jalan itu. Padahal jarak rumah tinggal kami dengan jalan yang sedang ditapaki itu sekitar 7 km dari rumah. Menjelang maghrib, mendung kian tebal. Adakah sesuatu yang terjadi dengan keluarganya atau anak itu mungkin?

Sementara berpikir, motorku telah melaju sangat jauh. Tiba-tiba aku tersadar, mengapa tidak aku ampiri dan bertanya. Jangan-jangan mereka butuh bantuanku.

Maka aku pun balik arah, setibanya di sana aku menghampiri mereka.

"Ada apa? Ini sudah hampir gelap. Mau pulang ya?" tanyaku.

"Iya. Dia nggak mau naik kendaraan. Tadi sama ayahnya. Mau ikut mancing. Tak mau diajak pulang." Jawabnya.

"Ayo sini naik." Sorot mataku ke arah anak itu.

Usianya sekitar 14 tahun. Jika sekolah mungkin sudah kelas 2 SMP. Sayangnya ia tidak disekolahkan orangtuanya.

Lebar senyum anak itu ke arahku. Setengah takut.  Mungkin dikira akan berbuat jahat. Sebentar kemudian ia sudah ada di belakang sambil memegang pundak ibunya.

"Bapak duluan aja. Biar kami jalan. Dia gak pernah mau naik kendaraan."

"Tadi aku ketemu bapaknya di pemancingan."

"Iya, tadi berangkat menyusul bapaknya pun jalan kaki."

"Masya Allah, sampai segitunya," ucapku dalam hati. "Kok ada orang yang seperti ini." Tujuh kilometer jalan kaki hanya untuk menyusul bapaknya.

Maka aku pun turun dari motor. Perlahan-lahan aku mendekat sambil membujuk anak itu.

"Kita naik yuk. Duduknya di depan. Nanti ada lampunya. Ada suaranya. Kalau ada yang lewat kita bunyikan."

Erat pegangan pada pundak ibunya dilepaskan. Sedikit gamang. Tapi aku tak henti-hentinya meyakinkan agar mereka ikut membonceng denganku pulang. Minimal sampai depan gang. Karena maghrib juga kian dekat.

Akhirnya setelah keraguannya dapat aku tepis dengan menawarkan agar dia yang menjadi sopirnya. Duduk di depan motor barulah anak itu mau melangkah mendekati motorku.

Setelah siap-siap kami pun berjalan. Dan begitu motor mulai melaju dalam kondisi oleng. Maka jalan motor aku perlambat. Bayangkan anak seusia SMP tubuhnya sudah hampir sama dengan tubuhku. Duduk di depanku, semenrara aku yang mengendari. Kadang kepalanya menutup pandangan.

Di sepanjang perjalan, anak tersebut ngoceh. Entah apa yang diocehkannya. Sambil membalikkan badannya. Sepertinya ngobrol dengan ibunya.

Pada saat ada yang melintas mendahuli kami. klasson pun ia tekan. Sambil tertawa terbahak dan bersuara. Aku benar tak mengerti arti bahasanya.

"Inilah bentuk rejeki yang Allah berikan. Tinggal dijalani dan bersabar," kataku pada ibunya.

"Inggih, Pak."

"Nanti saatnya akan berakhir. Dan dialah penyelamat kita."

"Kami sudah pernah ajak dia berobat. Sebenarnya orangnya pendiam. Yang sedang ngajak ngobrol itu bukan dia. Tapi orang lain."

Obrolan terakhir ini aku sangat ingat. Begitu sampai di depan persimpangan jalan mendekati rumah, mereka minta diturunkan.

Yang ngajak ngobrol tadi bukan dia? Mungkinkah dia kerasukan jin? Sedemikian lamanya?

Pertanyaan demi pertanyaan satu persatu datang bertami di kepalaku.

Sepengetahuanku, anak itu lahir dengan cacat bawaan -- kelahiran dengan keterbelakangan mental -- namun karena orangtuanya tidak termasuk dalam keluarga mampu dan berpendidikan tinggi sehingga tidak gejalanya serta penangannya.

Sepengetahuannya mungkin jika sakit barulah dibawa ke puskesmas atau dokter. Itu saja. Sementara kondisi anak yang mengalami keterbelakangan dianggap tidak dapat ditangani secara medis.

Kondisi ini diperparah bahwa keterbelakangan mental malah dianggap sebagai adanya jin yang bersarang di tubuh anak. Maka pengobatan yang mereka lakukan adalah dengan membawanya ke orang pintar.

Berusaha untuk menyembuhka memang tak ada salahnya. Yang belum tepat adalah menyerahkan penanganan penyakit kepada yang bukan ahlinya.

Pemahaman awam tentang dunia metafisika memang kerap menjadikan orang-orang yang terbelit dengan masalah kesehatan. Terutama kesehatan mental mengambil jalan pintas.

Kembali ke anak tadi. Dia adalah anak satu-satunya dari keluarga muda yang miskin. Pendidikan ayah ibu anak itu hanya tamat SMP. Jadi ya begitulah. Bisa dimaklumi ketika pemahaman terhadap kondisi keterbelakangan mental yang dihadapi anak dianggap sebuah kutukan.

Samar-samar dalam obrolan dengan ibunya ketika di motor tadi aku menarik pemahaman bahwa kelahiran anak itu karena ingin dikawinkan dengan orang halus (sebangsa jin, lelembut -bhs jawa).

Terpelas dari semua peristiwa itu. Yang hingga kini masih melekat erat dalam ingatanku adalah bagaana kesabaran ibu dari anak itu.

Dahulu sejak dalam gendongan, setiap kali makan. Setiap kali itu ibunya harus mengajaknya jalan-jalan. Kadang depan sekolah, di gardu, di lapangan sekolah. Di mana saja. Tempat-tempatnya berpindah-pindah.

Begitu juga ketika sudah mampu berjalan. Kadang sejak pagi hingga menjelang tengah hari. Sang ibu menemani anak itu bermain di bawah pohon. Main-mainan sesuatu, kadang akar-akar pohon. Ranting-ranting pohon. Daun-daun yang disusun-susun. Dan macam-macam mainan lainnya.

Bahkan hingga kini, sekitar 14 usianya. Apa pun yang ingin anak itu lakukan. Ibunya selalu mengikuti dan tak pernah melarangnya. Seperti kejadian tadi. Berjalan kaki hingga hampir sepuluh kilometer tetap dilakukan demi anaknya.

"Memangnya kalau dilarang gimana?" tanyaku pada suatu ketika.

"Kalau dilarang, berhari-hari dia akan ngamuk. Gak mau makan. Gak mau masuk rumah. Apalagi tidur. Jadi ya beginilah. Ikuti saja apa maunya."

Aku tak habis pikir, bagaimana seorang wanita bergelar ibu. Tanpa sekolah tinggi demikian mampu bersabar. Tak pernah keluar kata makian dari mulutnya untuk anaknya. Tak pernah keluar larangan pada apa pun yang dilakukan anaknya.

Tak pernah mengeluh sama sekali. Badannya kurus kering tak terawat. Kecantikannya hanya senyum yang tersungging ketika ada orang yang menyapanya.

Dimana ada ibu yang demikian sabar? Aku telah melihat dengan mata kepalaku sendiri. Daj tadi aku benar-benar mendengarnya bercerita.

"Anak ini adalah rejeki yang telah Allah berikan padaku."

Begitulah kata-katanya. Dan tak sekedar kata. Ibu itu selah menghabiskan sebagian besar usianya untuk semata wayang yang malam.

Sambil menuliskan ini, tak terasa ketikan hurup aku lihat kian kabur. Aku meneteskan air mata. Bukan apa-apa. Sekiranya anak itu adalah anakku. Apakah aku sanggup jadi bapaknya. Apakah istriku sanggup jadi ibunya. Hanya itu.

Tahun 2020 diakhir dengan pengalaman istimewa yang telah Allah SWT anugerahkan kepadaku. Sengaja cerita ini aku bagikan dengan tidak ingin berusaha merendahkan. Apalagi menjadikan orang dalam cerita ini aib. Sungguh tidak ada sama sekali.
 
Semoga kita semua masih mampu bersyukur atas apa pun yang kini kita miliki. Sesulit apa pun kehidupan kita. Masih ada orang yang lebih sulit dan menderita.

Kalau mereka mampu tersenyum manis dan menutupi kesedihannya, bagaimana kita yang demikian banyak anugerah diberikan masih berkeluh kesah lewat sosial media seolah-olah kitalah orang paling sengsara di dunia. Wassalam.

sumber gambar: Republika.co.id

Komentar