Hei! Kalian Pada Kemana?

Ungkapan kekecewaan pasti. Tapi tentang apa? Ada yang karena tidak suka. Ada yang karena meninggalkan luka. Ada yang karena marah tak terkira. 

Ada yang takut tersaingi. Dan sebagainya. Intinya, eksistensi yang ingin dibangun merasa ada yang menghalangi. Ada yang merasa menggangu. 

Hingga akhirnya pilihannya ada dua, ditinggalkan atau meninggalkan. Namun, tidak hanya itu saja. Masih mending jika pergi tanpa meninggalkan bekas. 

Yang parah adalah pergi sambil meninggalkan luka. Baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan yang yang menyakitkan.

Demikianlah lika liku sebuah hubungan, sebuah komunikasi, sebuah sosialita yang terjadi. 

Kerja keras, banting tulang, berangkat pagi pulang malam, seluruh pikiran dikerahkan, seluruh tenaga diterjunkan. Tujuannya hanya tiga. Yaitu, harta, tahta, dan wanita. 

Demi memenuhi perut kenyang, demi memenuhi ambisi kekuasaan, dan demi mendapatkan wanita/lelaki idaman apa pun dilakukan. 

Apakah cukup sekadar perut kenyang? Apakah sekadar jabatan biasa? Apakah sekadar pasangan saja?

Ternyata tidak! Harta, kalau bisa memiliki simpanan hingga tujuh turunan, hidup mewah lebih dari sekadar berkecukupan. Jabatan, tak hanya cukup menjadi kepala bagian, kalau bisa jadi pimpinan perusahaan. Tak cukup satu, kalau mungkin ada seribu, bahkan lebih. 

Demikian juga pasangan hidup, sudah ada pasangan masih lirak lirik yang lainnya. Tidak hanya lelaki saja. Dalam hati kecil, masih tergoda yang lainnya. Kalau bisa semua yang gagah/cantik jadi pasangannya. Dan seterusnya...

Aku menyebutnya, Nafsu! Seperti kehausan yang akan hilang jika diberi minuman. Seperti mulut kelaparan yang harus dijejali makanan. Tidak hanya satu jenis makanan, kalau memungkinkan semua makanan lezat terhidangkan. 

Alhasil? Dikenali tidak hanya oleh teman sendiri, tapi jika memungkinkan semua mahluk di bumi mengenalinya. Setiap mata terbuka, ada terlihat wajahnya, terpampang namanya. 

Dengan segala pujian keberhasilannya, dengan kemuliaan yang disebutkan orang untuknya. Dengan segala artibut kebesaran yang dikenali manusia. Ingin disandangnya. 

Sampai suatu ketika harapan tidak seusuai dengan keinginan, titik nadir yang memaksa kekecewaan memenuhi kepalanya. 

Tangisan dan rintihan bukan karena kelaparan tak ada makanan, bukan karena jabatan yang dijatuhkan. bukan karena pasangan yang meninggalkan. 

Semuanya masih melekat pada tubuhnya. Hanya saja jiwanya masih haus pada apa yang belum dimilikinya. Maka jalan hitam pum ditempuh.

Kalau bisa menjegal, maka menjegal pun dilakukan. Kalau bisa korupsi, maka korupsi pun dijalani. Kalau bisa selingkuh maka selingkuh pun dijadikan tren terpuji. 

Lupa ternyata waktu berjalan tak pandang siapa yang mengikuti, siapa yang tetap berdiri dan tak bergerak sama sekali, lupa banyak yang tertinggal lupa dikejar. 

Hari demi hari sibuk mencari dan mencari. Tak pernah sempat menikmati apa yang telah dicapai, apa yang dimiliki. Yang ada dalam kepalanya, apa yang ada dalam hatinya adalah yang tidak ada padanya. Maka ketika puncak kekecewaan datang, dengan kesal mengatakan, "Hei! Kalian pada Kemana?"

Harta, mengapa begitu susah dikumpulkannya? Ia lupa begitu banyak ATM dalam dompetnya. Baginya uang hanya susunan angka-angka. Tak berasa, tak berharga. Tak lebih hanya hanya hitungan matematika. Hanya tahu operasi tambah dan kali. Tak mengenal kurang, apalagi bagi!

Tahta, kekuasaan memang sangat menggiurkan. Tak sedikit yang rela datang ke dukun, para normal, dan sejenisnya. hanya agar sebuah jabatan yang dinginkan mampu diraih. 

Cukupkah dengan itu? Tidak! Setelah dirinya, maka diraihlah saudara-saudaranya, anak keturunanya untuk ikut berkuasa. Teman-teman sepermainanya, dan siapa saja yang dikira akan mampu melanggengkan kekuasaannya. Dipeluk erat!

Akhirnya, belum sadar juga. Kekuasaan sudah dalam genggaman, harta sudah bertumpuk hingga lupa bagaimana cara menghabiskannya, dan pasangan berserakan seperti sampah lupa disimpan di mana. 

Tetap akan berkata, "Hei! Kekuasaanku! Kalian ada di mana? Hei hartaku! Kalian mau pergi ke mana? Hei! Pasanganku mengapa kau tidak setia?"

Tak terasa, satu persatu anggota tubuhnya lelah. Mata mulai buram. Rambut mulai ubanan. Kaki mulai gemetaran, tangan mulai kesemutan. Darah mengental, jantung kelelahan berpacu. Setiap anggota tubuh lelah menopang ingin yang besar!

Ketika air laut tak mampu memenuhi hausnya, ketika kekuasaan tertinggi tak mampu memuaskannya, ketika pasangan tak mampu memberinya nikmat. Hanya satu yang mampu memutus segalahnya. 

Pada saat bayangan tanah mulai menghimpitnya, pada saat kulitnya mulai membengkak dan mengelupa, pada saat dagingnya dimakan belatung tanah. 

Pada saat gelap sendirian, tak ada pasangan tercinta yang menemani, tak ada harta yang kuasa membeli, bahkan satu lilin kecil. Saat itulah penyesalan tiada henti!

Kau akan berteriak dengan segenap kemampuan yang tersisa, "Hei! Kalian pada ke mana?"

sumber gambar: Imsad.org

Komentar