Sosok yang Berada di Dalam Kelas

Siapa yang tak pernah mengalami masa di mana ketakutan menjadi sebuah alasan untuk lari dari kegelapan. Kadang sekali waktu mata dan kesadaran terjebak pada hal-hal yang berada di luar kenyataan. Saat itulah pengalaman akan melekat seumur hidup di kepalanya.

Nopember 1997

Pembaca boleh percaya boleh tidak, tapi ini kejadian nyata. Akulah saksi bersama tersangka. 

Hari itu hujan turun sejak subuh. Siswa banyak yang terlambat tiba di sekolah. Demikian juga gurunya. 

Namanya juga anak SMP, paling suka jika pembelajaran tidak ada, alias kosong. Apalagi seperti sekarang sedang musim hujan. 

Untuk mengisi kekosongan kegiatan tak sedikit yang akhirnya main hujan-hujanan. Namanya juga zaman itu. Belum tau rasa malu. Hampir semua laki-laki yang mandi hujan lepas baju. Apalagi kalau bukan main bola. 

Pukul sepuluh selepas istirahat pertama, pembelajaran dimulai. Melanjutkan jadwal sisa. 

Dengan celana pendek yang basah siswa laki-laki cuek bebek. Dalam kelas sambil basah-basah. Sudah pakai baju tentunya. 

Kebiasaan guru, termasuk aku selalu mencek kehadiran siswa. Memanggil mereka satu persatu. Kelas 3 jumlahnya 42. Berjubel memang, belum ada pengaturan pembatasan kelas seperti sekarang maksimal 32. 

Jumlah yang hadir 35, artinya 7 orang tidak masuk kelas. Empat belas siswa laki-laki dan 21 siswa perempuan, kala itu. 

Saat jam istirahat ke dua selesai, kebetulan aku masuk kelas yang sama. Melanjutkan pelajaran. Mengingat guru pada jam pelajaran lanjutannya tidak hadir. Jadi kelas itu aku isi kembali. Hanya menunggu siswa yang bekerja melanjutkan tugasnya. 

Sambil menghitung jumlah yang hadir mataku mengamati satu persatu siswa. Tadi jumlahnya 35, mengapa sekarang jumlahnya 37. Artinya ada dua orang yang baru datang ketika istirahat ke dua. 

Iseng aku bertanya, "Siapa yang baru datang?

Merasa tak ada yang bari datang, mereka saling toleh teman sebelahnya. Tidak ada respon. Berarti jumlah mereka memang 37. 

Perasaanku sudah mulai berubah. Namun demi menjaga ketenangan kelas. Aku mencoba tetap tenang. Walau pun hati sudah dag dig dug gak karuan. 

Saat itu memang langit sangat mendung. Ruang kelas tidak seterang biasanya. 

"Siapa tau catatan bapak salah, bapak absen ulangnya?

Satu persatu nama aku sebut. Yang tidak hadir pada jam sebelum istirahat tadi memang sudah aku tandai. Namun demi menjaga perasaannya, jangan sampai merasa jadi tertuduh masuk belakangan maka aku lakukan panggilan dari urutan absen pertama.

Tersebutlah Nina dan Siti yang baru datang. Saat sedang asyik mengerjakan tugas, tanpa mengundang curiga temanya yang lain, mereka aku datangi. 

Betapa kagetnya aku ketika mendekati salah satu dari mereka. Kebetulan duduk di bangu sendirian. Harusnya yang ia tulis adalah catatan. Tapi kali ini hanya berupa oret-oretan. 

Yang membuat bulu kudukku berdiri adalah oretan yang dibuat menggunakan huruf hijaiyah, hurup arab. Sementara tulisannya sangat bagus dan rapi. 

Padahal Siti sudah sering dikeluhkan oleh guru agama dalam setiap rapat guru. Harusnya saat tamat SD, siswa sudah bisa menulis dan membaca Al Quran. Tapi Siti benar-benar tidak bisa. 

Sungguh, kekagetan dan kengerian ini aku bungkus rapat. 

Maka dengaj kecurigaan yang sama, aku dekati Nina. Dan ternyata sama. Oretan-oretan mereka dibuku catatan berbunyi sama. 

Mereka berdua menuliskan berupa penggalan ayat kursi. Logikaku, jika mereka mahluk halus pastinya akan takut dengan ayat kursi. Tapi yang ini malah menulis ayat kursi.

Kerongkonganku benar-benar terasa sangat kering. Akhirnya aku pamit ke kantor dan memberikan nasihat agar mereka tidak ribut ketika mengerjakan tugas. Sekedar ingin minum air putih di kantor. Siapa tau dengan seteguk air putih pikiranku kembali normal.

Entah karena apa, tak satu pun dari teman sekelasnya yang curiga. Masing-masing sibuk dan asyik mengerjakan tugas. 

Kadang-kadang ada suara canda dan gelak tawa mereka sesama teman sebangku. Maklum, namanya juga siswa. Kelakuannya pasti seperti itu. Bagiku yang penting tidak gaduh berlama-lama dan aktifitas tetap terjaga tak mengapa.

Di ruang guru, tak sepatah kata pun aku ucapkan tentang kejadian itu. Khawatir para guru ribut dan kegemparan terjadi.

Sampai pembelajaran berakhir dan mereka semua pulang tak ada kejadian yang menggemparkan. Aku benar-benar diam.

Biasanya begitu selesai membaca doa sebelum pulang, aku berdiri di depan pintu. Mereka ke luar kelas sambil bersalaman denganku. 

Dan lagi-lagi, bulu kudukku kali ini benar-benar berdiri lama sekali. Kedua siswi yang aku curigai itu saat salaman tangannya sangat dingin. Hanya menunduk dan tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Sementara teman lainnya, ada yang menatap kemudian senyum. Ada juga yang mengucapkan salam dan bilang terima kasih.

Hari itu, sampai dengan malam hari menjelang tidur aku seperti sedang bermimpi. Takut yang hanya aku pendam sendiri.

Kepada siapa pun cerita ini kala itu tak berani aku ceritakan. Takut jika ada yang tau terus terjadi kegemparan. Malah merugikan. Jangan-jangan siswa tidak berani lagi datang ke sekolah.

Memang sekolah kami waktu itu dikelilingi oleh semak belukar dan masih banyak pohon besar. Area sekolah 1 hektar memang sangat luas. Apalagi rumah penduduk sangat jarang. 

Sabtu, 11 September 2010

Lebaran dua hari mantan siswa berkunjung ke rumah. Maksudnya mau berlebaran. Ia datang bersama isterinya. Sekarang sudah jadi pegawai, sekalian ingin berlebaran, sekalian ingin mengucapkan terima kasih. 

Joko dan Nina, ia suami isteri. Teman sekelas SMP. Begitu, mereka memperkenalkan diri. Nina dan Joko aku jadi teringat peristiwa 13 tahun lalu. 

Kepada mereka berdua aku tanyakan perihal kejadian ketika kelas tiga dahulu. 

Maka aku bercerita tentang hujan yang sejak subuh hingga menjelang siang. Tentang siswa laki-laki yang main bola. Tentang mereka yang tak memakao baju. Kemudian tentang pelajaran yang aku isi sejak istirahat pertama hingga pulang.

Joko mampu mengingat kejadian dengan detail, bagaimana capeknya mencatat mengerjakan soal. Sementara  Nina tak bergeming sama sekali. 

Joko ingat banget kalau saat itu Nina tak hadir. Kata Joko, biasanya jika Nina hadir, mereka pasti duduk berdua. Bila ada tugas yang dikerjakan di sekolah, mereka pasti saling contek. Lalu siapa Nina yang kala itu berada di sekolah?

Joko tetap bersikeras kalau Nina memang tak hadir. Dan akhirnya Nina membenarkan kala itu tidak hadir karena baju seragamnya masih basah.

Jelaslah sekarang, ternyata Nina yang hadir kala itu adalah sosok yang datang di dalam kelas. Pada Joko dan Nina pun kala itu aku tak bercerita  tentang kejadian sebenarnya. Khawatir saja dengan cerita yang aku sampaikan mungkin akan meretakkan hubungan keluarganya.

Tahun 2010

Peristiwa yang sungguh mencekam adalah ketika terjadinya kesurupan masal di sekolah. Bermula dari acara perkemahan sabtu minggu. 

Menjelang acara api unggun, satu persatu siswa kerasukan. Hingga terpaksa memanggil warga masyarakat sekitar beserta orangtua siswa untuk menjemput dan membawa pulang anak mereka. Perkemahan terpaksa dibubarkan malam itu juga. 

Pada tahun yang sama, ketika lomba olah raga dan seni tingkat kecamatan. Salah satu peserta lomba baca pidato tak hadir ketika waktunya tampil di podium. 

Pembimbing mereka mengatakan kalau yang bersangkutan minta izin ke kamar belakang. Setelah dicari ke kamar belakang, kosong. Di cari ke sekeliling sekolah tidak ditemukan. Dipanggil menggunakan pengeras suara juga tidak datang.

Hinnga akhirnya keriuhan terjadi. Ada anak yang hilang, begitu yang tersebar. Padahal kejadiannya siang hari. 

Menjelang sore, ada petani yang menemukan anak itu, hampir satu kilo meter dari area sekolah. Badannya penuh dengan barutan duri dan rumput-rumput tajam.

Lucunya anak itu ketika ditemukan tak bercerita apa-apa. Diam seperti kehilangan akal. Sedih tidak, takut pun tidak. 

Begitu selesai dimandikan oleh salah seorang warga yang dianggap "pandai" barulah anak itu bercerita. Katanya di ajak menengok keluarganya yang sedang sakit. Sambil digendong dibawa melewati semak belukar.

Begitulah, mengenang peristiwa itu memang kadang membuat akal normal tidal bisa berjalan seperti biasa. Alam gaib memang ada. Jika kemudian ada peristiwa yang sungguh bertentangan dengan logika biasa, mungkin saja memang begitu kenyataanya. 

Oleh karena itu, tak ada salahnya kita ketika keluar dari rumah membaca doa dan mohon diberikan keselamatan dari mahluk yang tak kasat mata. Demikian, semoga bermanfaat. 

sumber gambar: Pixabay.com



Komentar