Sebuah pedang berada di tangan pandai besi, menurut perkiraan kita apa yang akan dilakukan pandai besi? Tentu saja dalam pikiran normal yang diterima oleh nalar adalah pedang tersebut sedang diperbaiki untuk ditajamkan.
Jika pedang itu berada di tangan penyuka lukisan? Dengan gampang kita akan mengatakan, "Pelukis itu sedang mengambil pedang untuk dijadikan obyek lukisan."
Sementara kalau pedang berada di atas meja, apa yang terpikir oleh kita? Mungkin saja sedang tergeletak ditaruh pemiliknya. Mungkin juga telah selesai digunakan oleh perampok membunuh korbannya. Atau beribu kemungkinan yang ada di benak kepala kita.
Satu obyek berupa pedang, jika berada tangan berbeda saja memberikan maknanya yang demikian banyak. Bagaimana halnya dengan perundang-undangan dan peraturan. Di banyak kepala, pasti ada beribu penafsiran yang berbeda.
Dari itu ada kiat untuk penulisannya tak menggunakan makna yang mungkin ambigu dan memberi makna yang berbeda. Seperti halnya pedang.
Obyeknya jelas. Apa yang tidak jelas dari sebuah pedang? Fungsinya jelas, untuk memotong dan menebas. Namun, di tangan berbeda atau ditempat berbeda memiliki kegunaan dan penafsiran berbeda.
Jika begitu adanya, apa yang salah jika kita berbeda pendapat dengan orang lain? Bukankah sah-sah saja? Mengapa jika ada perbedaan pendapat, perbedaan pandangan, perbedaan lainnya seringkali keributan yang malah muncul ke permukaan?
Ketika perbedaan terjadi, karakter dasar manusia adalah sikap merasa paling benar. Masalah yang sering muncul justru dari kalangan yang pengetahuannya cekak, memandang gajah dari pengamatan segelintir bagian tubuh gajah.
Seperti contoh orang buta yang berdiri di dekat gajah. Ketika memegang bagian telinga, akan berkata, "Gajah itu lebar dan tipis." Kebetulan yang berada di bagian ekor akan memaksakan pendapatnya bahwa gajah berbetuk seperti tongkat berbulu, menguncir bagian ujungnya. Dan sebagainya.
Orang yang paham betul bentuk gajah pasti akan tertawa terpingkal-pingkal.
Sikap merasa paling benar dan main hakim sendiri, lambat laun berujung pada tindakan kekerasan dan vandalisme. Akibatnya, bayangkan, jika seandainya posisi kita berada di lingkaran minoritas. Besar kemungkinan, bisa saja kita diperlakukan secara diskriminatif.
Ternyata tak ada masalah jika kita berbeda. Permasalahannya adalah merasa paling benar. Itulah akar permasalahan sebenarnya.
Dalam segala lini sekarang telah terjadi perbedaan pendapat. Seperti apa yang telah dilakukan pemerintah dalam penanganan covid-19. Sampai kapan pun tak akan menemukan titik temu.
Seperti yang saya tonton di televisi malam tadi. Seorang pekerja kasar di Jakarta akan pulang kampung mengeluh karena tak boleh pulang kampung. Boleh pulang kampung setelah melakukan tes bebas covid-19.
Setelah ditanya, "Apa rencana pekerjaanmu ketika sampai di kampung halaman?"
"Ya, yang penting ngumpul saja dahulu dengan keluarga." jawabnya bingung.
Memangnya di Jakarta bagaimana? Kalau diberi bantuan untuk kebutuhan hidup dalam bentuk bansos bagaimana, sekedar bertahan hingga covid-19 lenyap dan kembali normal?
"Tetap mau pulang dulu!" pungkasnya.
Bukan tentang orang yang mau pulang dan tindakan pemerintah itu yang jadi topik bahasa. Kasus di atas hanyah contoh yang kita ambil untuk mengatakan bahwa ternyata "berbeda" adalah sebuah akibat dari rentetan sebab yang panjang.
Sebelum "berbeda" banyak sekali alasan dan pembenaran yang telah selesai dalam perdebatan. Baik perdebatan dengan diri sendiri maupun dengan lawan bicara.
Oleh karena itu, ketika kita berbeda. Biarlah berbeda. Bukankah dengan berbeda ada nuansa yang lain yang tampak pada mata.
Hanya satu kunci untuk menjalin sebuah perbedaan agar tak terjadi benturan. Toleransi! Semakin tinggi toleransi yang kita junjung, maka akan semakin indah wujud perberaan yang ada.
Sebaiknya perbedaan tak menghalangi kita untuk minum teh bersama dan bersenda gurau.
Sumber gambar: Pixabay.com
Sayangnya toleransi di sini memang masih tipis. Miris kalo lihat banyak orang2 yg ga bisa trima perbedaan pendapat. Trus pake acara marah2 dan memaki. Makanya aku udh males nonton acara debat di tv, yg lama2 jd kayak rombongan badut sedang rebutan makanan -_-
BalasHapusSaya sudah hampir 10 tahun tak pernah lihar acara tv lagi. Kita hanya disuguhi konsumsi kapitalis. Dijadikan pasar buat mereka.
Hapus