Saat Kaki dan Tangan Unjuk Kebolehan, Anda Pasti akan Kalah

Pernahkah kita merasa ditampar berkali-kali oleh orang lain? Sementara kita tak mengenal mereka. Atas apa yang kita lakukan, orang itu merasa penting dan memiliki urusan. Padahal secuil pun tak ada sangkut pautnya. Seperti apa rasanya?

Atau kita seorang guru. Pada saat berdiri di depan kelas menjelaskan langkah-langkah pembelajaran. Di ujung kelas ada siswa yang mengacungkan tangan dan berteriak, "Bu, yang ibu jelaskan itu salah. Seharusnya biarkan kami menentukan cara kami sendiri."

Pada saat kita minta ia menjelaskan seperti apa cara yang akan ditempuhnya, siswa tersebut hanya tersenyum sambil cengar-cengir. Kita sebagai guru tahu persis apa yang akan dilakukan siswa akan sembrono dan mau usul saja. Seperti apa rasanya? Bukankah yang seperti itu tertampar sangat pedas? 

Guru yang masih muda dan baru, jika laki-laki bisa saja mendekati langsung membalas menampar atau menjewer kuping siswa tersebut. 

Jika guru perempuan mungkin akan merah padam wajahnya menahan marah. Tak sedikit yang kemudian menangis dan pergi ke luar kelas. 

Contoh lain, ketika kita adalah seorang ayah. Pada suatu saat sang ayah meminta anaknya melakukan ini dan ini. Pada pemikiran ayah, apa yang dilakukan adalah sebuah kebaikan dan bermanfaat untuk anaknya. 

Pada waktu yang sama, anak punya pendapat sendiri dan menyalahkan permintaan sang ayah. Kira-kira seperti apa hati ayahnya? Marah? Sedih? Kecewa?

Kalau masih belum yakin tertampar, kita coba satu contoh lagi. Ibarat seorang ibu membuat masakan demikian nikmat dan lezat, sudah sesuai resep menu yang ada. 

Sudah sering dilakukan. Baru kali ini anak perempuannya protes. Katanya, "Masakan yang ibu buat salah. Harusnya begini, begini dan begini."

Ibu tahu persis kondisi anak gadisnya. Sejak bayi dalam pengasuhannya. Ibu mengerti apa yang anaknya bisa. Perasaan ibu mendapat komentar dari anaknya kira-kira akan bagaimana? Marah? Sedih? Kecewa?

Dalam pemikiran yang lebih umum akan tergambar  dari kisah seseorang yang pergi ke laut, tetapi tidak ada yang ia lihat selain air asin, burung camar yang terbang, dan ikan-ikan. 

Orang itu pun berkata, "Di mana mutiara yang ia bicarakan? Atau, mungkin tidak ada mutiara di sana."

Bagaimana mungkin ia mendapatkan mutiara hanya dengan memandangi lautan? Meskipun ia diberi kemampuan menakar air laut, galon demi galon hingga jutaan kali, ia tetap tak akan menemukannya. 

Sungguh! Dibutuhkan penyelam handal untuk mendapatkan mutiara. Bahkan hanya penyelam yang beruntung yang akan mendapatkannya. Beda halnya jika mutiara itu dibudidayakan. 

Begini saja, bagaimana reaksi penonton pada saat pertandingan sepak bola berlangsung? Penonton adalah sang ahli yang pasti akan menemukan pemain pecundang. 

Dan selama pertandingan berlangsung, pemain itulah yang akan mendapat sumpah serapah hingga pertandingan berakhir. 

Penonton? Kita, jangankan menendang bola dari tengan lapangan menuju ke gawang tanpa penjagaan saja kadang tak sampai, kadang malah meleset tak mampu masuk ke gawang. Lalu mengapa begitu banyak menyalahkan?

Kalau ditanyakan mengapa dilakukan, jawabnya pasti sangat ringan, "Suka-suka penontonlah. Kan kami masuknya bayar!"

Sadarkah kita, sudah berapa ribu kali menampar perasaan orang yang kita kenal dan orang yang kita anggap menentukan kehidupan orang banyak?

Jika menjadi yang tertampar, seperti apa rasanya? Bukankah guru begitu sakit hatinya? Bukankah sang ayah begitu kecewa? Dan, bukankah ibu sedih tak terkira?

Sudah berapa kali kita bertindak sebagai sang pakar, sang ahli yang jadi kementator yang seperti paling ahli? Bolehkah itu dilakukan? Jawabnya pasti persis penonton pertandingan bola. 

Dengan alasan lain, "Kami telah memilih kalian jadi pemimpin. Kami telah percayakan kalian jadi penentu. Jadi kami berhak memaki-maki dan menyalah-nyalahkan." Begitukah?

Seperti halnya guru, ayah, ibu, dan siapa pun adalah manusia. Punya hati dan rasa. Punya keluarga besar yang akan ikit tertimpa. Kalau tertampar seperti apa rasanya? Jika kita pada posisi mereka, alangkah tidak nyamannya?

Kalau sekarang sudah terbuka sedikit kesadaran, barangkali! Apa yang telah kita lakukan bukankah sedang menyakiti? Mereka adalah orang-orang yang kita sayangi. Orang-orang yang kita hormati. Lalu rasa teganya di mana tersembunyi? 

Apakah karena arogansi hati? Agar telihat paling hebat, paling pintar, paling cerdas dan paling peduli! Padahal kita hanya penonton. Alangkah mudah dan ringannya menghakimi dan menyalah-nyalahkan hingga ke ujung bumi?

Lidah memang tak bertulang. Setiap gerakan pasti akan dipertanggungjawabkan. Demikian jempol dan jari-jari yang merasa menjadi hakim dan menghakimi. Bagaimana? 
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar