Pencari Kebebasan

Kebebasan! Sebuah kata yang tiap saat diperjuangkan. Hingga istilah belajar pun ikut masuk dalam kategorinya, merdeka belajar. Guru ingin bebas mengajar. Siswa ingin bebas belajar. 

Demikian juga para penggiatan HAM setiap saat menyuarakan tentang kebebasan hak azasi manusia, bebas dan merdeka. 

Namun tahukah kita bagaimana pun ternyata kita tidak bisa bebas, tidak bisa merdeka. 

Setiap manusia, di mana pun berada, kapan pun tidak bisa terlepas dari kebutuhan. Pada binatang pun melekat kebutuhannya dan masing-masing berusaha memenuhinya. 

Kebutuhan itu lebih dengan dengan mereka daripada ibu bapaknya, daripada saudaranya, daripada sahabatnya. 

Bagi manusia, kebutuhan adalah "tali kekang" yang telah menjerat lehernya. Sementara arah pemenuhan kebutuhan itulah arah tali kekang membawanya. 

Manusia tidak mungkin mengikat sendiri dirinya. Karena sejatinya manusia ingin bebas sebebas-bebasnya, merdeka. Mustahil ada orang yang ingin bebas tapi ia justru mencari tali kekang. Karena itu pasti ada yang lain, di luar dirinya yang mengikat leher manusia. 

Seperti seseorang yang ingin sehat, tidak mungkin ia menyakiti diri sendiri. Itulah makanya tidak mungkin dua hal yang bertolak belakang dilakukan dalam waktu yang bersamaan. 

Siapa pun kita, tidak akan dapat menghindar dari kebutuhan. Kita akan mendekati orang atau apa pun namanya yang mampu memenuhi kebutuhan kita.  

Ketika manusia dikekang, ia akan selalu mengikuti dan mengiringi pengekangnya. Namun, karena lemah dan tak berdaya, pandangannya justru tertuju pada tali kekang, dan bukan pada pengekang. 

Seandainya sekali saja ia bisa mengalihkan pandangannya pada pengekang, mungkin saja ia mampu melepaskan diri dari tali kekang. 

Seban, sesungguhnya yang mengekangnya adalah si pengekang, bukan tali kekang itu sendiri. Karena tali kekang membatasi setiap kehendak dan tindakannya. Oleh sebab itu manusia selalu tertuju pada tali kekang, bukan pada pengekang yang menarik dan mengarahkan kekangannya. 

Lantas, kata bebas mungkin tidak akan berarti. Mengingat segalanya selalu ada yang membatasi. Dalam keadaan sehari-hari, misalnya ada rasa lapar. Rasa lapar minta segera dipenuhi dengan makan. Untuk makan perlu ada bahan. Dan bahan perlu dicari, dan seterusnya. 

Demikian juga rasa kantuk, perlu dipenuhi dengan tidur. Untuk tidur diperlukan tempat tidur, tempat yang nyaman untuk tidur. Dan sebagainya.

Kalau dalam hal yang sederhana saja kita tidak mampu membebaskan diri dari kebutuhan yang mengekang kita, bagaimana kita berteriak soal kebebasan dan kemerdekaan?

Yang kita lakukan selama ini hanyalah menerikan agar orang lain terbebas dari orang lainnya, bukan pada diri sendiri. 

Setelah kita telisik lebih jauh, akar masalahnya ternyata terletak pada "ketikdakadilan". Seseorang diperlakukan tidak adil oleh yang lainnya. Tapi yang bersangkutan merasa tidak terusik terhadap ketidakadilan yang telah dilakukannya terhadap dirinya sendiri. 

Lapar, akan hilang jika makan. Bila tidak dikenyangkan, maka kita telah tidak adil pada perut kita. Kantuk juga sama, bila tidak tidur, maka kita telah tidak adil pada mata kita. Demikian juga dengan hal lainnya. 

Jadi selama keadilan belum benar-benar tegak. Dalam diri sendiri, diri kita dengan orang lain, di semua lini, maka yang namanya kebebasan, kemerdekaan hanyalah ilusi. Menjadi sesuatu yang tak pasti. Hanya jadi slogan yang lama-lama tak memiliki makna yang berarti.

Makanya hingga kapan pun, penyuara hak azasi manusia tak akan pernah berhenti. Mengingat keadlian itu sendiri yang belum mampu tegak beridiri. 

Sementara makna keadilan sendiri masih menjadi sesuatu yang tak memiliki indikator pasti, maka rasa adil pun akan menjadi tawar. Dengan demikian makna kebebasan dan kemerdekaan akan berimplikasi dengan makna keadilan. 

Seperti halnya guru, bebas mengajar, namun tetap ada aturan yang harus diikutinya. Demikian juga siswa. Jadi tak ada yang benar-benar bebas dan merdeka. 

Demikian juga diri sendiri, jangan pernah katakan ingin bebas! Kita ternyata berada dalam tali kekang yang sangat kuat yang menjerat leher kita. Selama kebutuhan harus dipenuhi, saat itulah tali kekang menjerat. Untuk bisa bebas harus adil, baik terhadap diri, maupun terhadap orang lain. 

Dalam diri sendiri tak akan ada kebebasan karena kebutuhan merupakan tali kekang yang membatasi kebebasan tersebut. Sementara di masyarakat ada norma sosial, budaya, dan agama yang juga jadi tali kekang peri kehidupan kita. Jadi kalau mau bebas sebebas-bebasnya, maka bermimpi saja. Itu pun jika bisa.

sumber gambar: faridsrdanfatner.com

Komentar