(1) Nita, Janda yang Jadi Maniak Karena Terpengaruh Penciumannya!

Ada kalanya merahnya mawar nikmat untuk dilihat. Harum semerbaknya mampu membius penciuman kita. Terkesima, terlena kemudian mabuk entah kapan akan sadarnya.

Lupa, pada tangakainya ada duri yang sangat menyakitkan. Semakin dalam tusukannya, semakin parah lukanya. Diabetes! Luka tak akan mudah sembuh, mungkin saja satu persatu anggota tubuh akan diamputasi. 

Saat itulah tubuh tak lagi berarti. Satu persatu derita menggerogoti daging dan tulang. Hingga sampai pada ujung penghabisan. Kematkan!

Seperti halnya dengan gadis cantik ini, entah setan mana yang merasuk dalam tubuhnya. Entah jin dari bangsa mana yang jadi teman tidur dan mimpinya. Hingga hanya karena penciumannya terlalu tajam. 

Aroma tubuh lawan jenisnya, jadi proiritas utama. Manakala saat bersama, saat hubungan intim terjalin. Aroma tubuh yang menyengat akan menghilangkan selera, gairah bahkan napsunya. 

Kalau sudah begitu, jika kepuasan jadi nomor satu dalam kehidupannya. Yang lain pasti akan jadi sisa. Apa pun akan dilakukan, meski satu persatu prang tersayang dilenyapkan.

Beberapa kali menikah ternyata bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Orang lain akan melihatku sebagai perempuan cantik dan menawan. Aku telah berganti suami dengan 7 orang laki-laki. 

Empat diantaranya meninggal dunia akibat kecelakaan. Tiga sisanya bercerai setelah mendengar ceritaku, bahwa mantan suamiku terdahulu meninggal karena kecelakaan. Rupanya suamiku takut meninggal karena kecelakaan juga. 

Suami pertamaku namanya Agus. Lengkapnya Agus Santoso. Lulusan Fakultas Tehnik UNLAM Banjarmasin. Sementara aku lulusan Fakultas Ekonomi. Kampus kami berseberangan. 

Ketika berangkat dan pulang kuliah kami sering berpapasan. Saling lempar senyum dan pandang. Sama-sama tertarik. Agus kemudian melamarku ke orang tuaku. Saat itu aku semester tiga. 

Setahun setengah setelah lulus SMA. Teman-teman mengatakan parasku sangat cantik. Bodi juga semampai. Betapa tidak. Tinggiku saat itu 168 cm. Beratku 56 kg. Berat dan tinggi edial. Ukuran payudara terbilang besar. Bokong juga. Begitu kata kawan-kawan, ketika aku SMA. 

Agus sebenarnya adalah orang ke dua yang ada dalam hatiku. Setelah saat SMA ada kakak kelas yang sangat cerdas. Sangat menarik perhatianku. Sayangnya karena orang tuanya tidak kaya. Dan dia juga masih kuliah belum bekerja. Akhirnya cintaku berlabuh pada Agus. Dia suami pertamaku. 

Seperti kebanyakan lelaki. Agus sempurna sebagai suami. Gagah, pekerja keras. Dan anak orang kaya. Apa pun yang aku minta selalu diberikannya. Sayangnya, cintanya tidak bisa dibandingkan.

Hanya satu kekurangannya, Agus memiliki napas dan mulut yang sangat berbau. Hampir setiap kali kami bercumbu. Masalah terbesar yang membuatku tersiksa. Aku selalu mau muntah dibuatnya. 

Tak pernah sekali pun merasa nyaman. Apalagi menikmati hubungan suami isteri. Hanya karena dia suamiku. Dengan terpaksa aku layani dengan segenap jiwa raga. Meskipun dalam keadaan terpaksa. 

Siksa mampu aku tahan selama beberapa bulan. Akhirnya, kesabaranku hilang. Aku tak sanggup lagi berlaku sebagai isteri. 

Dari situlah kemudian pertengkaran kecil sering terjadi. Setiap malam datang, kemudian Agus akan meniduriku. Selalu aku tolak dengan alasan macam-macam. 

Benar kata orang. Hasrat ditolak tangan bertindak. Aku sering mendapat pukulan keras dengan kata-kata. Segala macam kata kasar keluar dari mulut agus. Aku hanya diam. 

Tidak puas dengan kata kasar yang tidak aku lawan. Agus sangat kecewa, lalu dengan kasar memaksa hubungan badan. Aku menolak keras. Takut muntah tak tahan bau napas dan mulutnya. 

Dalam hatiku, mending mendapatkan pukulan tangan dari pada harus berhubungan badan dan menahan muntah. Sangat tidak menyenangkan. 

Pernah suatu ketika, Agus tidak pulang ke rumah seperti biasanya. Aku yakin dia pasti mencari perempuan lain. Tapi masa bodoh. Yang penting aku tidak tersiksa. 

Kejadian berulang. Kadang satu malam. Kadang beberapa malam. Aku merasa merdeka. Lepas dari tekanan Agus, suamiku.

Yang penting uang belanja buatku ada. Jumlahnya cukup untuk satu bulannya. Di samping penghasilanku yang bisa aku gunakan untuk poya-poya dengan teman perempuan di kantorku. 

Hingga akhirnya aku dapat berita telepon dari seorang perempuan. Aku yakin itu pacar suamiku. Menggunakan seluler Agus. Mengatakan bahwa Agus telah tiada. Agus lagi kejang-kekang di kamar hotel. Dopping obat kuat. 

Bergegas aku hampiri ke kamar hotel yang ditunjukkannya. Tak sedikit pun ada rasa cemburu. Tugasku hanya segera membawa pulang Agus. Jika pun akan meninggal dunia biarlah meninggalnya di rumah saja. Yang penting tidak membuat malu aku dan keluarganya. 

Benar, sesampai di rumah Agus aku papah ke dalam kamar. Meregang nyawa atau entah. Aku tidak ada di sana. Aku duduk nonton tv dengan suara aku keraskan. Hingga lupa. Aku tertidur.

Pagi hari, aku masuk kamar. Agus sudah kaku. Tak bernyawa. Agus meninggal dunia. Kini aku pun janda. 

Tiga puluh dua hari sejak kematian suamiku. Kehidupan normal berjalan seperti biasa.

Pada suatu kesempatan. 

"Nit, ntar makan siang aku ajak kamu ke luar ya?" ajak Firman berlaku di hadapanku. 

"Iya, Mas," sahutku tersenyum manja. 

Firman adalah teman sekantorku. Manager. Sebenarnya kami beda bagian. Aku di bagian pencatatan barang. Firman di bagian pemasaran. 

Waktu makan siang tiba. Firman menghampiriku. Memang sudah aku nantikan. Sejak ajakannya pagi tadi, hatiku sudah berbunga-bunga. Begitu lambat menanti waktu makan siang tiba. 

"Yuk, Nit," tangannya menepuk bahuku membuyarkan lamunanku. 

Kami pergi ke sebuah restaurant di depan kantor. Jalan kaki menyeberangi jalan raya. Padat. Tak sengaja tanganku menggamit lengan kukuhnya. Firman diam. Seakan terseret ke arahku. Blek ... bahunya menyenggol payudaraku. Berdesir dadaku. Ada perasaan beda. Heran. 

Setibanya di tempat yang kami tuju. Kami pilih pojokan paling ujung. 

"Kamu pilih menu apa?" tanya Firman padaku. 

Aku senyum saja. Masih terasa bahu kekarnya menyentuh dadaku. Keras. Berasa hingga jantung. Degup kencang. Pasti Firman melihat perubahan rona wajahku memerah. Aku merasa hangat seluruh wajahku. 

Tak terlihat Firman memperhatikan gerak gerikku. Firman asyik menikmati hidangan makan siangnya. Gulai kulit sapi masak kuning. Dan es jeruk. Sementara aku pilih telur dadar dan sambel ijo. Menu kesukaanku. 

"Kamu tau nggak, apa istimewanya kulit sapi ini?" tanya Firman membuka percakapan.

Aku menggeleng. Semun manis kubuat semanis-manisnya. Aku suka padanya. Aku tergoda. 

"Aku kasih tau ya? Kulit sapi jika dimasak benar. Aku paling suka. Rasanya sangat nikmat. Dan aku akan selalu memilih menu itu di mana pun aku berada. Jika masakan dari kulit ada. Pasti kulit sapi jadi menu utama," Firman menjelaskan tanpa kuminta.

"Kok bisa, Mas," aku ingin tau

"Bagi laki-laki yang tau menu makanan. Pasti kulit sapi adalah makanan paling nikmat. Daging apa pun pasti kalah. Coba ini sedikit," Firman sambil menaruh potongan daging sapi di piringku. 

Aku makan. Rasanya liat. Kenyal. Enak dikunyah. Rasanya juga beda.

"Ikh ..., biasa aja ini. Di mana nikmatnya," tanyaku selanjutnya.

"Bedalah. Mengunya kulit sapi akan persis rasanya dengan mengunyah bibir wanita. Tidak percaya. Nanti kita coba," sahut Firman sambil tertawa.

Aku tersipu malu tak tau harus membalas apa. Hanya membayangkan, jika bibir dan lidahku ikut dikunyah dan dimakannya. Alangkah ....

Makan siang berakhir mesra. Sepertinya Firman sangat menyukaiku. Aku juga begitu tergoda. Dari percakapan yang ada aku tidak mencium ada bau yang tidak sedap dari mulut maupun hidungnya. Malah, aroma keringatnya sungguh mempesona. 

Aku memang gila. Tak kuat dengan bau busuk menyengat. Tapi sangat menikmati bau tubuh Firman. Aku merasa nyaman berada dekat dengannya. Tatapan tajamnya juga begitu menjalari sekujur tubuhku. Membuatku yakin Firman juga sangat menyukaiku. 

"Nit, ntar malam minggu kita jalan-jalan yuk!" Firman memohon sebelum berpisah selesai makan siang tadi. 

"Ok, Mas. Aku manut saja. Terserah kau saja. Jika mas Firman suka. Aku pun suka," sahutku mesra sambil kulempar kedipan mata. 

Namanya juga laki-laki. Mendapat perlakuan mesra begini pasti akan selalu tergoda. Apalagi kecantikan dan bentuk tubuhku masih dalam kondisi sempurna. Dua puluh enam tahun. Lagi seger-segernya. 

Apalagi aku sudah tidak perawan. Pengalaman bersuami tidak membuatku canggung. Dengan mudah mampu menggoda dengan cara istimewa. 

Ketika sebuah penantian sedang dilakukan, deting jarum jam kadang mampu memekakkan telinga.Perputaran jam dinding normal berjalan terlihat seperti semut yang merambat. 

Lepas dari satu siksa karena keinginan lainnya, jatuh pada sumus siksaan lainnya. Kalau dari detik ke detik begitu lama, apatah lagi penantian dari menit ke menit. Jam ke jam sungguh seperti tak ada pergantian.

Sekali lagi, menantikan malam minggu  tiba begitu lama. Untungnya tadi aku sempat meminta kontak Firman. Hingga dengan mudah saling berkomunikasi lewat WA. 

Maka hubungan kami berlanjut dalam percakapan WA. 

- Mas, ntar kita pulang sama-sama yuk

+ ikh. Belum puas yang tadi ya?

- he he he

+ iya boleh gak papa tho?

- aman kok

+ emang kamu gak takut sama aku ya?

- tuh kan, mas Firman menggoda

+ kenapa emangnya?

- masih ingat soal kulit sapi tadi. Wkwkwkwk

+ atau kita coba saja

- mas Firman serem dah

+ gak papa sekali2

- awas aja

+ udah akh. Lanjut kerja dulu ya

- ok. Muach22

Obrolan WA begitu mesra. Senangnya hatiku hari ini. Jebakanku kena. Firman tergoda. Aku sangat menyukainya. Sekarang bayangan mantan suamiku Agus sudah hampir lenyap dari ingatanku. Firman harus jadi suamiku. Bagaimana pun caranya. Firman begitu membuatku bergairah.

Apakah perasaan ini karena aku kesepian, atau memang aku sangat menyukainya. Entahlah. Biarlah waktu yang membuktikan. Aku akan mencintai Firman menggantikan suamiku. Atau hanya selingan menemani sepi hatiku. 

Malam minggu sangat aku nantikan. Gairah menggelora sudah terasa sejak kini. Apa yang terjadi jika ternyata makan malam berlanjut di atas ranjang. Jangan. Jangan sampai terjadi. Aku tidak mau ternodai. Jika ingin mendapatkan tubuhku. Firman harus menikahiku. Firman harus menjadi suamiku dulu. 


Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar