Melihat Alam Ghaib (30)

Episode ke tiga puluh Melihat Alam Ghaib

Hari itu selasa tepat ketika orang terdekatku menjalani operasi Meningioma. Bongkahan daging bersarang di kepala bagian kanan sebesar buah apel malang. Alhamdulillah berhasil diangkat dengan selamat. Ketika berita tersampai lewat telepon.

Pakde sedang berada di puskesmas. Kena "menyamak", sebuah istilah yang biasa digunakan oleh warga tempat aku tinggal. Ada yang menyebutnya sebagai sebuah serangan angin duduk. Lebih lumrah disebut angin duduk. 

Biasanya tanpa sakit atau gejala apa pun sebelumnya. Orang yang kena angin duduk akan segera sesak napas, beberapa detik. Setelahnya akan lemas dan berakhir dengan kematian. Penderita akan meninggal dunia. Dan selalu diiringi dengan kekagetan siapapun orang yang mengenalnya. 

"Tadi siang baru saja kami selesai bercengkerama. Baru saja kami selesai makan siang. Baru saja kami pulang sama-sama, dan seterusnya."

Pihak puskesmas atau dalam istilah kedokteran orang yang kena serangan angin duduk katanya disebut sebagai gagal jantung. Dan sebagian besar penderita akan mengalami kematian. 

Minimnya pengetahuan bagaimana mengatasi masalah ini selalu menjadi momok bagi keluarga dan pasien itu sendiri. Tak seorang pun ingin mengalami kematian secara mendadak. Tapi, mau bagaimana lagi. Gagal jantung tetap saja berpeluang menyerang siapa saja. 

****

Sebuah tayangan video yang dibagikan seorang kawan sepertinya bisa dicoba untuk diterapkan. Yaitu dengan rutin melakukan pijatan mandiri terhadap bagian-bagian tubuh yang merangsang kerja jantung. 

Dalam tayangan tersebut dijelaskan bahwa dengan cara menjepit setiap sela jari dengan jari yang lain secara bergantian dipercaya mampu merangsang saraf bagian dalam tubuh. Termasuk jantung. 

Setelah itu melingkari pergelangan tangan dengan lingkaran jempol dan telunjuk mengelilingi pergelangan seraca berulang-ulang. Dan dilakukan berkali-kali. 

Lalu dilanjutkan dengan pesendian pada siku. Dengan cara yang sama, membuat lingkaran jempol dan telunjuk. Mengelilingkannya berkali-kali. 

Dan yang terakhir adalah dengan menepuk-nepuk ketiak dengan tangan yang dikepalkan. Hal ini dilakukan berkali-kali dan sesering mungkin. 

Semua yang dilakukan di atas, katanya mampu memberikan rangsangan pada saraf tubuh, sehingga peluang gagal jantung menjadi kian kecil. 

****

Kembali ke kisah Pakde dengan misteri kematiannya. 

Berbeda dengan cerita di atas, cerita lain ternyata beredar keluar dari mulut Rimah, istri Pakde. Katanya, seminggu sebelum perstiwa meninggalnya Pakde, ada seseorang datang ke rumah meminta pertolongan pengobatan kepada Pakde. 

Katanya, orang tersebut sedang bersiteru dengan seseorang dari pulau Jawa. Pengaruh persaingan bisnis. Karena persaingan tersebut akhirnya menjadikan kedengkian bersarang pada hati manusia. Dan berakibat, meminta jada dukun untum melalukan tenung, santet dan sejenisnya. 

Memang, kebiasaan tugas Pakde adalah mengembalikan kirimiman santet, tenung, teluh tersebut kepada tempat asalnya. Bukan untuk menyakiti siapa pengirim atau orang suruhannya. Melainkan mengembalikan barang santet tersebut ke tempat asalnya, alam jin. 

Dari sinilah cerita misteri kematian Pakde dimulai. Beberapa tahun sebelum Pakde meninggal, seseorang pernah datang lewat alam penerawangannya Pakde. Saat itu aku sedang berada di depan Pakde pada suatu malam. 

Ketika sedang asyik bercerita bagaimana pengalaman Pakde ketika terpaksa melakukan semedi ngalap berkah untuk mendapatkan pekerjaan. Jauh sebelum Pakde berkeluarga. 

"Kamu enak! Bisa hidup bersama orangtua. Lah aku. Mau tidak mau harus berjuang sendiri mencari kehidupan. Untuk mendapatkan pekerjaan terpaksa melakukan amalan gila. Sekarang baru tau aku salah. Pelajaran sesat," kata Pakde.

Aku diam saja menyimak. Tak berani membantah atas tuduhan betapa enaknya hidup bersama orangtua. Walau sebenarnya kehidupanku tak lebih menderita dari kehidupan Pakde. 

Hidup di bawah garis kemiskinan dan hari-hari menahan lapar memang sungguh tidak mengenakkan. Tapi biarlah. Toh waktu sudah berlalu. Tinggal kenangan yang akan jadi cerita masa sulit.

Ketika asyik bercerita tersebut kemudian Pakde tiba-tiba berhenti bercerita. Mata terpejam, mulut komat kamit, dalam posisi duduk bersila. Sebelumnya kaki Pakde lurus sedang bersandar di dinding kamar tengah. 

Seperti tak ada orang di sekitarnya, Pakde berdiri dan melangkah cepat ke belakang. Sejurus terdengar suara gemericik air dari kran. Pakde sendang mengambil wudlu. pikirku. Padahal saat itu ada aku, Rimah dan beberapa orang di rumah itu. 

Kami semua saling pandang dengan sejuta pertanyaan. Pakde sedang melakukan apa? Tanpa saling bertanya. Tapi aku yakin pertanyaan ada di hati kami sama. 

Tanpa dikomando kami pun menyisi menjauh dari sejadah tempat Pakde biasa salat. Maklum ruang salat ada di ujung kamar tengah. Tempat kami biasa berkumpul.

Sungguh! Suasa tiba-tiba mendadak mencekam. Pakde langsung berdiri di atas sajadah dan melakukan salat sunat dua rakaat dengan sangat cepat. Aku meyakini tidak ada tumakninah dalam salat itu saking cepatnya. 

Entah diterima atau tidak, karena tidak sesuai rukun salat yang harus tumakninah pada setiap rukuk, iktidal, sujud, dan duduk antara dua sujudnya.

Mungkin juga pengetahuanku tentang perjalanan cepat dan lambatnya waktu yang bisa dirasakan oleh seseorang belum aku pelajari. Aku teringat bagaimana sahabat Rasulullah yang biasa menghatamkan  Al Quran dalam setiap salat malam mereka. 

Logika sederhana pasti tak akan mampu menerima. Bagaimana mungkin dalam satu malam mampu membaca sekian banyak halaman. Tapi begitulah, nyatanya para sahabat Rasulullah melakukannya. 

Selesai salam Pakde kemudian nggeblak dan terjatuh ke lantai. Rimah, sudah hapal harus melakukan apa. Pakde pun di dudukkan dan dipapah.

"Ambilkan aku segelas air putih!" perintah Pakde tiba-tiba dan ketidaksadarannya. 

Aku langsung berdiri mengambil air dan menaruh di depan Pakde. Air itu kemudian ditutup dengan telapak tangan kanannya, sambil membacakan beberapa ayat Al Quran. 

Alangkah terkejutnya aku ketika air tersebut tiba-tiba berubah jadi merah. Apakah ini darah? Tanyaku dalam hati. Aku tak mencium ada bau amis sama sekali. 

"Buang air ini! Ganti dengan yang baru!" suara serak khas Pakde yang selalu berbeda ketika dalam posisi tidak sadar. 

Ini pasti suara guru Pakde!

Aku letakkan kembali gelas dengan air putih tersebut di depan Pakde. Sama! Seperti adengan pertama. Telapak tangan kanan Pakde menutup helas tersebut, kemudian membacakan ayat Al Quran lagi. 

Aku tau, ayat yang dibacakan kini adalah surah Al Jin. Surah tersebut dibaca dari awal hingga akhir dengan cepat. 

Begitu surah Al Jin selesai dibaca, kembali air berwarna merah. 

"Buang air ini, ganti air yang baru. Kamu wudlu dahulu," perintah Pakde padaku

Apa yang diperintahkan pun aku lakukan. Bergegas aku ke belakang dan mengambil air wudlu. Setelah selesai barulah aku cuci gelas tadi. 

Sekedar untuk melepaskan penasaran, kali ini sebelum aku buang air tersebut aku cium. Dan benar! Bau amis darah! Sangat menyengat. Apakah karena aku telah berwudlu atau karena terlalu dekat aku menciumnya. Yang jelas apa yang aku cium benar-benar bau darah.

Segera aku taruh kembali gelas berisi air tersebut di depan Pakde. Rimah masih dalam posisi memapah Pakde dengan keringat bercucuran. Sementara yang lain duduk bengong menyaksikan apa yang ada di depan mereka.

Setelah gelas tetap berada di depan Pakde. Kal ini tidak ada telapak tangan yang ditutupkan. Melainkan hanya ucapan salam yang keluar dari mulut Pakde. Seraya tubuh Pakde lemas.

"Haus! Mnum!" kata pakde

Rimah pun memberikan gelas air putih tadi untuk diminum. Sekali tenggak ludes. 

Seperti orang yang baru tersadar dari pingsan. Pakde kebingungan sebentar sebelum benar-benar mampu menguasai keadaanya. 

Setelah beberapa saat, Pakde kembal seperti sediakala. Mengambil rokok kemudian menyulutnya.

"Ada apa tadi?" tanyaku.

"Edan! Karena perseteruan bisnis. Kecemburuan, takut tersaingi dan mati bisnisnya, akhirnya meminta jasa dukun untuk mengirim santet. Aku diminta untuk mengembalikannnya. Alhamdulillah berhasil."

"Koq bisa? Bagaimana ceritanya?" tanyaku.

(Bersambung)
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar