Melihat Alam Ghaib (29)


Episode ke dua puluh sembilan Melihat Alam Ghaib

Apa yang terjadi selanjutnya
"Kek, Niman mau nanya," kata ponakanku. 

"Abdi selalu menangis. Setiap senja. Bila melihat jendela selalu memangis. Katanya takut," lanjutnya.

Niman adalah keponakanku perempuan. Punya anak tiga. Dua di antaranya perempuan. Sudah besar. Satu lulusan SMA, adiknya masih SMA. Anak terakhir laki-kali. Abdi namamya. Kelas 4 SD. 

Kata ibunya, Abdi pernah bercerita. Melihat nenek rambutnya putih. Mencoba melambaikan tangannya. Ketika itu memang wakti senja. Setelah hujan, Abdi melihat jelas. Dikira nenek tetangga. Jadi didatangilah nenek yang memanggil tersebut. 

Katanya Abdi diberi uang kuno (binggul). Seperti uang bekas Belanda. Terbut dari kuningan tapi lebih mirip tembaga. Dikalungkan nenek di leher Abdi. Ibunya tak melihat. Ketika aku bertemu Abdi juga tak terlihat ada kalung melingkar di lehernya. 

Semenjak mendapat kalung itu kata Niman, ibunya Abdi. Abdi bisa melohat makhluk halus. Makanya setiap senja, dan keluar rumah dia selalu menangis dan ketakutan. 

Suatu ketika aku datang ke rumah Abdi, kucoba cari apa sebenarnya uang menyaji penyebab hingga Abdi bisa melihat banga Jin tersebut. Orang lain barangki akan menyebutnya Indigo. Namun, bagiku Indigo bukanlah hal istimewa. 

Mampu melihat bangsa jin sepertinya tak ada gunanya. Jika salah gunakan kita akan menjadi tersesat dalam kesesatan yang nyata. Juga jika kurang kuat iman, akan diperdaya bangsa jin. Jangan-jangan malah menjadi pengikutnya. Dan kian tersesat. 

Setelah mengajak Abdi bercerita dengan bahasa anak. Aku dapat mengambil kesimpulan ternyata Abdi melihat bangsa jin tersebut bukan karena kalung yang diberikan nenek tersebut. Penglihatan semacam itu akan datang dan pergi secara tiba-tiba tanpa dilehendaki. 

Jadi salah satu tipu daya bangsa jin adalah memberikan semacam benda yang kemudian dianggap keramat atau memiliki kekuatan oleh pemakainya. Nah di sinilah letak awal mula kesyikrikan yang menggelincirkan. 

Oleh karena Abdi masih kecil, mau tidak mau aku harus membujuk agar masalah melihat bangsa jin jangan menjadikan suatu kelebihan. 

Anggap biasa saja seperti melihat makhluk lain pada umumnya. Juga agar tidak takut. Manusia lebih sempurna dan lebih memiliki kekuatan dibanding makhluk lain uang ada di bumi ini. 

Beberapa hari setelahnya, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam pikiranku. Sama sekali tidak enak. Dada rasanya sesak. Bernapas susah. Tubuh seperti ada yang menindih. Kaki sangat berat dilangkahkan. 

Sehingga aku putuskan untuk mengamalkan kembali ajaran yang telah apakde turunkan. Membaca surah Jin. aku tau konsekuensinya adalah aku akan berhadapan dengan bangsa jin. Bisa melihat mereka. 

Kucoba mencari tempat di Musholla, beberapa ratus meter dari rumah. Dengan harapan dapat dengan khusuk melaksanakan. Juga jika terjadi keributan, hanya aku yang mendengarkan. 

Dan biasanya jika kita bisa melihat mereka, kemungkinannya hanya dua. Kita digoda dan terpengaruh olehnya atau menjadi musuhnya, karena dianggap menghalangi dan menggangu kebiasaannya. 

Ketika itu malam sabtu, aku tak berani mengamalkannya pada malam jumat. Disamping sangat berat karena malam jumat adalah malam istimewa. Sebaiknya malam sabtu, sisa malam.menjelang liburan pagi harinya. 

Selesai membaca surah Jin seperti yang diperintahkan Pakde yaitu membacanya dari belakang sampai ke depan. Begitu selesai, tampaklah dua alam secara nyata. Sepertinya mata kanan melihat alam nyata dan mata kiri melihat alam gaib.

Mulanya sempat juga merasa takut, karena Pakde telah tiada. Jika terjadi sesuatu aku minta tolong pada siapa? Tak ada tempat untuk minta tolong. Tak ada tempat untuk berkomunikasi. 

Dan benar-benar di luar akal sehat. Di mana tempat ku berada ternyata tak jauh dari situ ada sebuah istana kecil. Berwarna merah jingga. Menyala-nyala. Istananya seukuran rumah kira-kira 15x15m. Penghuninya sepi. Hanya lampu warna warni. 

Sebenarnya aku ingin sekali menjauh dari tempat itu. Dalam hati, untuk apa juga berkomunikasi dengan mereka. Toh kita tak ada ikatan keluarga. Juga aku tak punya keperluan dengan mereka. Barangkali mereka saja yang ingin coba menggoda. 

Mulanya aku hanya ingin melihat, makhluk apa sebenarnya yang menggelayuti tubuhku sehingga terasa berat. Kepalaku sekaan ada yang menindih. Saat itu, aku amati sekelilingku tak ada apa-apa. 

Perasaan berat tiba-tiba sirna dari seluruh tubuhku ketika selesai membaca surah Jin tersebut. Berbarengan dengan pangandanku yang mampu melihat dua alam sekaligus itu.

Begitu aku mau melangkah menjauh dari tempat itu, tiba-tiba sebuah suara memanggil namaku. Seingatku mirip suara Pakde. Bergesas aku toleh, soalnya ketika Pakde meninggal memang aku tak menghadiri hingga pemakaamannya. 

Begitu aku toleh, memang benar. Seluruh tubuhmya mirip Pakde. Sebentar aku tersadar. Mustahil ada Pakde. Pakde telah meninggal dan tidak mungkin datang dalam bentuk asli di alam ghaib. 

Aku kuatkan hati. Itu bukan Pakde. Itu bukan Pakde. Akhirnya makhluk mirip Pakde tadi kembali kepada bentuk aslinya.

Sungguh aku terkejut. Ular berkepala manusia. Mendekatiku. Sambil senyum nyinyir. Seperti orang yang malu karena kedoknya terbongkar. Aku diam saja, sambil menunggu reaksinya. 

Aku perhatikan dengan seksama. Kalau-kalau perbuatannya mencoba mencelakaiku. Namun, lagi-lagi aku yakin bangsa jin tak mungkin punya kekuatan untuk mencelakai kita. Bangsa manusia. 

Ternyata setelah tersenyum nyinyir dia pergi menjauh. Lalu, seperti secepat kilat menghilang. 

Aku pun melangkah pulang. Namun dalam perjalanan pulang sungguh di luar dugaan. Begitu banyak istana bangsa jin yang aku temukan dalam bentuk dan warna warni cahaya yang berbeda-beda. 

Setelah aku tau, begitu banyak istana tempat mereka tinggal baru aku sadari ternyata bangsa jin mirip dengan manusia. padahal hanya rumah bagi bangsa jin, namun aku menyebutnya istana mengingat begitu banyak pintu dan altar-altar tempat persembahan. 

Bocah-bocah jin terlihat bermain juga seperti kita. Bercanda, dan bergembira. Suara cekikikan, penuh keriangan mereka memainkan benda yang mirip kepala manusia. Ada rambut, mata, hidung, mulut dan telinga. Dilempar-lempar, layaknya main bola lempar. 

Bila lepas menangkap, maka bola yang mirip kepala manusia itu menggelinding. Sekali waktu bola itu menggelinding ke dekat kakiku. Dan, benar. Itu kepala manusia. Lehernya masih berdarah. Mata kedap kedip, bibir kecap-kecap. Duh, sangat mengerikan. 

(Bersambung)
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar