Melihat Alam Ghaib (28)

Episode ke dua puluh delapan Melihat Alam Ghaib

Malang tak dapat di raih. Untung tak dapat ditolak.  Pakde kena serangan jantung. Tak terselamatkan. Hanya butuh tiga jam. Untuk melenyapkan sebuah nyawa. Pakde kembali kepada Yang Kuasa.

Kebetulan saat itu aku tak ada di desa. Jadi tidak menemui langsung sampai pada proses pemakaman Pakde. Hanyar mendengar cerita dari saudara yang kebetulan menghadapinya. 

Katanya sempat dibawa ke puskesmas, hanya beberapa saat di kembalikan lagi ke rumah. Jasad kemudian dimakamkan. Seperti kebanyakan orang. Bagaimana nasib pelajaran dan guru Pakde? Padahal keinginan pertamaku adalah ingin mengetahui siapa guru Pakde sebenarnya. 

Setelah Pakde tak ada, pupus semuanya seketika. Pelajaran yang telah kuterima belum seberapa. Masih 99 tingkatan lagi. Baru selesai tingkatan pertama. Aku harus bagaimana?

Hingga suatu malam, aku bermimpi ketemu Pakde. Bermimpi orang yang telah meninggal, antara percaya dan tidak. Seperti yang pernah Pakde wejangkan, hanya mimpi rasulullah yang benar-benar bermimpi beliau. Selebihnya adalah mimpinya diserupai oleh jin atau syaitan. Tapi entahlah. 

Pakde sudah tak ada lagi. Pertanyaan baru muncul, siapakah orang yang ada dalam mimpi kita. Kata Pakde dalam mimpi itu, "Amalkan semua ajaran yang telah aku berikan. Itu semua adalah intisari dari ajaran agama. Dengan istiqomah mengamalkannya, kau akan tenang. Rejekimu dijamin tak akab kekurangan."

"Jika mengalami kebingungan terhadap pelajaran yang sudah ada pasti kau tak punya tempat untuk bertanya. Makanya sering-sering baca al quran dan terjemahnya. Kalau perlu tafirnya dan rujukaj hadist yang sahih. Insya Allah akan mengerti perlahan-lahan," lanjut Pakde.

Hanya itu mimpi yang aku ingat. Selebihnya adalah setiap pelajaran tentang alam ghaib yang memang disembunyikan. Sementara alam ghaib yang beredar di masyarakat adalah tentang mahluk halus. Itu bukan alam ghaib yang dimaksud dalam ilmu agama. 

Entah mengapa kematian Pakde tidak meninggalkan kesedihan yang mendalam. Padahal jelas-jelas. Dia adalah saudara tertua. Juga jadi guru spiritualku. 

Setelah malam aku mencoba mengheningkan diri pada malam malam ketika dini hari baru aku sadari. Kematian memang sudah sebuah perjalanan. Lahir, besar, dewasa kemudian meninggal. Semua akan mengalaminya. 

Padahal, orang-orang sudah datang dan meminta petunjuk kepadaku soal-soal yang berkaitan dengan mahluk halus. Gangguan mahluk halus, hingga meramalkan nasib. Heran juga. 

Aku saja sangat membenci yang namanya ramalam. Jelas-jelas bertentangan. Tapi apa mau dikata, namanya juga tamu. Harus dilayani. Harus dihormati. 

Disamping itu, yang mengherankan adalah mengapa orang begitu tergila-gila dengan yang namanya mahluk halus dan cerita horor yang mengikutinya. Padahal, yang ada hanya rasa takut. Kemudian olahan rasa takut menjadi konsumsi. 

Sepertinya bulu kuduk berdiri adalah seni tersendiri. Ketika benar-benar berhadapan langsung mungkin saja akan jera selama hidupnya. Aku saja ketika bersama Pakde mengalami langsung. 

Melihat bentu jelmaan jin dan mahluk halus lain dalam wujud yang beraneka ragam. Karena sudah menjadi kebiasaan, akhirnya tidak lagi mengerikan. 

Seperti halnya hewan. Ketika pertama kali melihat ular besar dengan lidah menjulur tepat di depan mata sangat dekat, takutnya akan melekat seumur hidup. 

Namun, karena kebiasaan jadi tak terasa apa-apa. Lihat saja penyayang ular. Mereka tidur dengan ular. Tidak ada rasa takut saka sekali. 

Lantas, bagaimana petualanganku ketika Pakde sudah tidak ada lagi? Apakah akan menarik untuk diceritakan? Entahlah. Sepertinya hidup normal adalah jalan terbaik baut setiap orang yang pernah bergaul dan berhubungan dengan mahluk halus. 

(Bersambung)
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar