Melihat Alam Ghaib (23)

Episode ke dua puluh tiga Melihat Alam Ghaib

Amalan yang diperintahkan Pakde sudah hampir aku selesaikan. Tidak ada tanda-tanda kesaktian. Jangan-jangan akal-akan Pakde saja agar aku lebih mendekat Kepada-Nya. 

Meskipun begitu, keinginan awak agar mengetahui siapa guru Pakde dan mempelajari sedikit keahlian yang dimiliki Pakde tidak ada salahnya. Makanya aku berniat akan segera datang ke rumah Pakde dan minta petunjuk tentang lanjutan amalan yang akan aku laksanakan.

Tepat malam jumat, aku datang ke rumah Pakde. Sesuai instruksi yang diberikan. Sebelumnya puasa ayyamul bid (puasa pertengahan bulan, tepatnya tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan).

Berkata kotor dan tidak perlu sudah harus ditinggalakan. Apalagi berbohong. Sangat dilarang. Apalagi menggunjingkan kejelekan orang lain. Kemarin pernah kena marah yang kuar biasa. Semuanya sudah aku hindari.

Malam ini aku di rumah Pakde. Sudah disambut dengan sebuah selamatan. Pakde menyembelih ayam jago, lengkap dengan nasi lemak. Tersaji di atas tampah. Dalam bentuk nasi tumpeng.

"Untuk apa ini, Pakde?" tanyaku penasaran.

"Selamatan syukuran karena kamu telah hampir menyelesaikan tingkatan pertama," jawab Pakde.

"Tingkat pertama?"

"Sebenarnya ada seratus tingkat."

"Hakhh!! Seratus tingkat?" aku kaget tak terkira.

Pakde tersenyum. Begitu pula istrinya Rumah. Kemudian dengan beberapa amalan yang kami selesaikan berupa; bacaan yasin, tahlil dan doa arwah acara selamatan selesai. Hidangan dibagikan dan kami santap sama-sama.

Namun, tak beberapa lama datang beberapa orang bersamamu ke rumah Pakde. Mengetuk pintu. Nasi yang sudah tersaji dalam piring urung kami makan. Pakde mempersilakan orang-orang tersebut masuk. Dan mengajak makan sama-sama.

Yang mengherankan, mereka berjumlah 5 orang pakaian yang dikenakan hampir seragam. Duduk bersila mengelilingi hidangan. Tak bersuara. Menyaksikan hidangan saja, sudah dipersilakan makan juga seakan tak mendengar ajakan kami.

Sedari tadi Pakde asyik saja makan. Akhirnya aku juga ikut makan. Sementara tamu tadi diam mematung duduk menantikan kami selesai makan. 

Rasa kurang enak sebenarnya kita makan dihadapan orang lain yang diam tidak ikut makan. Namun, masalahnya bukan tidak enaknya. Tapi rasa setengah penasaran dan takut menyelimuti seluruh pikiranku. Jangan-jangan mereka bukan manusia.

Semakin lama rasa takutku semakin besar. Aku hentikan makan, dan segera mengangkat piring ke dapur. Pura-pura mau mencuci piring. 

Padahal aslinya aku hanya menjauh menghindari rasa takut. Sambil kupasang telinga. Jangan-jangan ketika aku ke belakang ada sesuatu yang orang itu atau Pakde sampaikan.

Benar saja. Ketika aku ke belakang, salah seorang dari mereka angkat suara.

"Orangnya itu ya?" tanyanya.

"Iya," jawab Pakde singkat.

"Tahan juga ternyata. Nanti apa yang harus kami lakukan?"

"Mulai malam ini kalian berlima aku perintahkan untuk menjadi pendampingnya. Menjaganya jika ada bangsa jin yang coba mengganggunya. Hatinya belum seimbang dengan kemauan kerasnya."

"Iya Guru, kalau begitu kami permisi."

Hanya suara itu yang aku dengar. Untuk menghilangkan jejak akhirnya aku membuka keran air. Aku ambil wudhu. Aku tak tau, perasaanku saat ini seperti apa? 

Entah senang karena sudah selesai tahapan awal atau makin takut karena ternyata mulai saat ini aku dikawal oleh orang yang tidak aku kenal. Juga tidak aku lihat. Duh, apa yang sebaiknya aku lakukan.

Akhirnya aku putuskan untuk pura-pura tidak tau obrolan antara Pakde dan orang itu. Aku kembali masuk ke kamar tengah. Mereka berlima sudah tidak ada. 

"Kemana orang tadi," ucapku basa basi.

"Sudah pulang, mampir sebentar saja kok."

Aku kembali duduk. Rimah istri Pakde merapikan sisa dan perlengkapan makan. Pakde menyulut rokoknya setelah minum air putih segelas penuh.

"Sekarang dengarkan aku. Mulai malam ini kamu sudah ada yang mengawasi. Kamu tidak bisa macam-macam lagi."

"Macam-macam apa Pakde?"

"Pokoknya jika mau berbuat neko-neko tidak bisa lagi. Ada yang akan melarang dan menegurmu."

Aku manggut-manggil saja. Seolah mengerti yang maksud Pakde. Dalam hatiku. Berarti orang yang berlima tadi yang akan melarang dan menegurku. Itu saja. 

"Terus apalagi Pakde?"

"Mulai malam esok, usahakan jangan begadang lagi. Harus tidur sebelum pukul 12.00 tengah malam."

"Wah, gak boleh begadang lagi ya?"

"Untuk sementara, soalnya selepas tengah malam kamu harus menyelesaikan amalan setelah tidur. Salat tahajjud, minimal 8 rakaat. Ditambah witir 3 rakaat."

"Berapa lama, Pakde?"

"Sampai aku memerintahkan berhenti atau dikurangi atau ditambah."

Aku berpikir keras, bingung. Apakah aku sanggup melaksanakan semuanya. Dalam kebimbangan yang sulit dijelaskan akhirnya Pakde menegaskan. 

"Aku tidak akan memerintahkan kamu apa yang kamu tidak bisa melakukan. Jadi yakin saja. Semua bisa. Asal semangat."

"Terus?"

"Tidak ada terusannya. Sudah sekarang pulang saja. Ingat-ingat. Sekarang kamu sudah ada penjanganya. Dia nanti akan membangunkan tidurmu. Akan menemani kamu melakukan amalan."

Aku beringsut berdiri dan pulang dalam perasaan gamang yang tak terkira. Alangkah beratnya. Oh Pakde oh.

(Bersambung)
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar