Melihat Alam Ghaib (20)

Episode dua puluh Melihat Alam Ghaib

Pakde memanglah Pakde. Jauh sekali dari harapan. Minta sebuah jawaban atas siapa gurunya malah diterangkan tentang segala macan ilmu klenik. Ilmu hitam. 

Tak cukup dengan itu. Malah ikhwal penciptaan nabi Adam dan segala perubahan Jin yang taat, kemudian berubah jadi iblis yang sombong. 

Tentang iblis yang berubah nama menjadi setan karena mengganggu manusia. Menyesatkan manusia, lalu namanya berubah jadi setan.

Tidak hanya itu, ternyata setan tidak hanya berbentuk jin. Setan juga berwujud manusia. Setiap apa pun yang menjadi penyebab manusia melenceng dari ketentuan Allah SWT disebut setan.

Benar saja, setelah lama aku merenung. Seseorang yang memiliki kelebihan berupa ilmu pengetahuan, harta benda, jabatan dan cantik/gagah rupa akan sombong karenanya. Sementara sifat yang paling dibenci adalah kesombongan.

Malam ke 14, setelah bangun tidur. Pakde berpesan agar melaksanakan salat tahajjud sebanyak 4 rakaat dua kali salam. Rakaat pertama membaca surah Yasin, rakaat kedua membaca surah Jin. Demikian diulang pada salat yang kedua. 

Selesai melakukan salat tersebut, aku diperintahkan untuk membaca zikir, "Laaillaha illahhah" sebanyak 10.000 kali. Selesai membaca zikir itu harus mebaca salawat nabi. "Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa aalihi washahbihi wasallim" sebanyak 1.000 kali. Semua berjalan lancar. 

Namun ketika dieprintahkan untuk membaca doa. Sesuai dengan niat awalku untuk mengetahui siapa guru Pakde, tiba-tiba malam itu terjadi peristiwa yang sungguh tidak menyenangkan. 

Dalam kamar sebelumnya terang benderang. Lampu neon 60 watt. Semua terlihat jelas. Tiba-tiba gelap. Beberapa kali aku kucek-kucek mata. Jangan ada yang salah. 

Doa yang mulanya khusuk aku baca, berubah seketika. Perasaanku tiba-tiba tak tentu. Bulu kuduk berdiri seketika. Apakah mataku buta? 

Aku yakin ini adalah sebuah cobaan, tetap kemudian aku tahan. Kembali aku tata hati. Meminta dengan sungguh-sungguh. Aku harus tau siapa guru Pakde? Sebangsa jinkah, atau ibliskah, atau setankah? 

Akhirnya samar-samar aku lihat Pakde dalam bentuk yang berbeda. Menggunakan jubah putih. Tiba-tiba nampak bersila di depan mata. Seluruh tubuhnya bercahaya. Kutatap tajam wajah Pakde. 

"Assalamu'alaikum. Aku datang. Amalan pertamamu sudah mulai pada tahap sempurna. Hanya satu kurangnya. Ibadah yang kamu laksakan belum ikhlas niat. Sejak awal aku sudah sampaikan. Luruskan niat. Lillahi taala. 

Kamu tidak bisa menepati janjimu. Ikhlasmu belum bisa diterima. Aku masih melihat niat yang tidak kamu sengaja. Baiklah, aku akan beri sesuatu. Jika nanti kamu merasa tidak sanggup, sampaikan saja," suara Padke pelan, namun berwibawa.

Berbeda dengan Pakde biasanya. Kemudian Pakde menghilang, tanpa memberi salam. Aku yakin, pasti ada sesuatu sehingga Padke tidak pergi. Pakde mengawasiku malam ini. 

Benar saja, bulu kudukku tak juga turun. Apa gerangan yang terjadi. Doa aku selesaikan. Selesai membaca Al fatihah untuk hadiah pada para arwah guru-guru,  orang tua dan seluruh kaum mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat. 

Ruang kembali terang. Aku sedikit lega. Namun bulu kuduk tetap berdiri. Aku elud beberapa kali. 

Saat ini sudah menjelas subuh, suara alunan ayat suci sudah terdengar dari masjid samar-samar. Aku pun keluar kamar. Ingin memperbaharui wudlu, kemudian ikut jamaah salat subuh ke masjid.

Sesampai di dapur, aku terperanjat. Setengah meloncat dan berteriak, Astaghrifullaah! Betapa tidak. Ada seseorang duduk di depan kran tempat wudlu. Tidak ada orang di rumahku. 

Maling barangkali. Aku terperanjat berkali-kali. Dia tak menoleh kepadaku. Hanya duduk. Mainan air, tengah malam. Masya Allah! Siapa dia. Ku coba ambil kayu, untuk jaga-jaga jiks terjadi sesuatu. 

Kudekati, ku lihat dengan seksama. Dia tak menoleh sama sekali. Asyik memainkan air kran. Aku tunggu sambil setengah takut setengah berani, jika terjadi sesuatu minimal aku bisa lari. Masya Allah! Dia menoleh kepadaku. Bola matanya tidak ada. Allaahu Akbar! Apa yang terjadi. Aku berteriak.

"Hayo sana! Sana! Pergi!" teriakku sambil menodongkan bila di tanganku. Dia tak peduli tak bergeming. Takut pun tidak. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana mengusirnya?

Aku kembali ke ruang tengah, menarik napas. Jangan-jangan aku sedang bermimpi. Kuhampiri cermin. Tidak. Aku tidak bermimpi. Ini nyata! Dia siapa?

Kembali aku ke kamar mandi, mau wudlu lagi. Jangan-jangan dia sudah pergi. Ternyata, "innalillahi wa inna ilaihi rojiun" dia tidak sendiri, ada seorang bayi yang sedang dia cuci, darah berserakan. 

Sepertinya dengan kukunya, dada bayi itu dibelahnya. Sambil cekikikan dia membersihkan dada bayi itu. Ada jantung di lantai, bergarak-gerak. Hati masih merah berdarah-darah lepas dari tangkainya. 

"Astaghfirullah! Pakde! Pakde! Pakde!" kesebut nama Pakde.

Lari ke depan pintu rumah. Aku sangat takut masuk ke dalam rumah lagi. Tetap di depan pintu luar aku lumpuh duduk tersandar. 

"Astaghfirullah! Pakde! Pakde! Pakde! Astaghfirullah! Pakde! Pakde! Pakde! Astaghfirullah! Pakde! Pakde! Pakde!" ucapanku sepenuh jiwa, saking takutnya.

Beberapa saat kemudian aku terdiam, bulu kudukku tiba-tiba tidak berdiri lagi. Hatiku mulai tenang. Kalau sudah seperti ini biasanya mahluk yang seperti itu tidak akan terlihat lagi. 

Aku berdiri, kembali masuk rumah. Keringat dingin bercucuran. Mau mandi dan ganti baju dan sarung. Kemudian aku masuk ke kamar mandi. Benar dia tak terlihat lagi. Alhamdulillah. Dia sudah lenyap dari tatapan mata.

Esok siang atau sore akan aku tanyakan, apa sebenarnya kemauan Pakde menyuruhku melihat mahluk ghaib. Dasar kejam Pakde, akibat salah niat. Jiwaku belum kuat. Allahu akbar, jera pokoknya berurusan dengan mahluk tak kasat mata. Kejamnya tak terkira.

(Bersambung)
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar