Kekasih (Ramadhan) telah Datang Bertamu, Hati Siapa yang Tak Rindu?

Ramadhan Sudah di depan mata. Para perindu akan menyambut gembira. Para pembenci mengeluh tiada tara.

Allah mampu memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam (Q.S Al Hajj: 61)

Dalam sebuah percakapan setelah mendengar, "Sungguh mudah mengaku cinta, tetap cinta memerlukan bukti nyata."

Dalam sejarah Islam diceritakan bagaimana sebuah keyakinan atas sesuatu yang mustahil membuat keraguan dalam hati. Tanpa ada bukti nyata yang mampu dilihat mata lahir. 

Sementara kebiasaan manusia dari zaman ke zaman tetap sama, tidak akan mudah percaya jika belum menemukan bukti dan keterangan pasti. Atau mengalami sendiri.

"Wahai Rasulullah, dulu aku meyakini bahwa engkau memiliki hubungan dan kekuatan dari langit layaknya raja-raja terdahulu seperti Hamman, Syadad, Namburd, dan lain-lainnya. Ketika kau berkata tadi, aku tahu bahwa kekuatan itu berasal dari Tuhan."

Nabi SAW bersabda, "Kali ini aku mendengar terputusnya syaraf-syaraf keraguan dalam batinmu. Suaranya menyentuh telingaku. Sungguh aku memiliki telinga batin di dalam suara ruhaniku."

Tujuannya adalah memahami kemudian merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Meski dalam kondisi demikian, ia tetap memiliki harapan dan optimisme. 

Bagaimana pemahaman tentang bertemunya seseorang dengan Lailatul Qadar? Bukankah bagi sebagian orang hanya mendengar cerita. Katanta begini dan begitu. 

Sementara panduannya jelas, satu malam kemuliaan yang baginya lebih baik dari seribu bulan. Malaikat turun ke bumi berbondong-bondong menjadi saksi. Langit penuh!

Mari kita cermati! Bukankah ketika dua sahabat bertemu di sebuah ruang. Mereka saling berhadapan dan melakukan perbincangan. Apakah yang kita ketahui dengan sabahat itu?

Keduanya memakai baju yang sama, putih bersih, wangi dan baru. Sama persis! Pandangan kasat mata akan mengatakan bahwa keduanya mulia (jika ukuran mulia kita coba dengan baju dan wangi yang dikenakannya).

Ketika dua orang sahabat itu duduk berhadapan, apakah kita tahu, jasad yang terdiri dari tulang, daging, dan darah berusia kira-kira 45 tahun yang sedang duduk itu sejak kelahirannya berasal dari sari pati makanan yang sama?

Pandangan kesehatan akan mengatakan bahwa pertanyaan yang disampaikan ini adalah pertanyan konyol. Jelas! Bahwa apa yang dimakan manusia yang berada di lingkungan yang sama adalah sama. Beras yang ditanak menjadi nasi. Betulkah sama?

Atau dengan contoh sederhana lainnya, ketika matanya jelas melihat sendal yang bagus dan usang, jelek di teras masjid, kakinya mengenakan sendal terbaik yang ada. Matanya normal? Pastilah normal, mampu membedakan yang baik dan jelek. Tapi sendal yang terbaik bukanlah miliknya. 

Adakah yang mengetahui bahwa sel pembentuk tulang, daging, dan darahnya berasal dari makanan yang baik? Semua nasi yang masuk ke dalam mulut adalah baik. Layak dimakan. Benarkah? Apakah nasi miliknya? Dibeli dari uang miliknya? Siapa yang tahu?

Kedua sahabat itu pun mungkin saja tidak tahu. Orang tua mereka yang dahulu memberi makan mereka. Setelah dewasa ia lanjutkan dengan usahanya mendapatkan makan. 

Atau agar lebih terang lagi, tentang Lailatul Qadar adalah menemukan. Artinya ada panca indera yang mendapati peristiwa tersebut. Langit bercahaya dilihat dengan jelas oleh mata. Yang pasti bukan mata seperti matanya orang yang keluar masjid menggunakan sendal baik tadi. 

Lailatul Qadar adalah malam suci, hanya ditemukan oleh jasad yang suci. Seperti apa? Jasad yang dalam daging, tulang, dan darahnya tak bercampur barang yang tidak suci. Kesucian akan bertemu dengan kesucian. 

Begitu juga dengan tanda-tandanya berupa alam yang tenang, angin semilir yang sejuk, dan keindahan lain di sekitaran orang yang menjumpai Lailatul Qadar. 

Di tempat lain, sedemikian riuh orang membicarakan tentang kapan waktu Lailatul Qadar datang. Dan zumhur ulama mengatakan Lailatul Qadar akan datang pada malam-malam ganjil di bulan Ramadan. Tak ada yang salah dengan semua itu. Untuk acuan penantian masa di mana Lailatul Qadar. 

Maka kegiatan itikaf pun berbondong-bondong dilakukan. Tak sedikit yang menanti dengan segala ibadah suci. Dengan semangat yang menggebu, dengan motivasi yang tinggi. Apakah Lailatul Qadar mereka temukan?

Kembali pada cerita dua orang sahabat tadi. Apa yang nampak pada kita hanyalah penglihatan lahir. Sementara penglihatan batin tak sedikit pun mampu kita dapati. 

Bukankah Allah SWT Maha melihat, baik yang lahir mau pun batin. Bahkan mahluk kecil hitam masih nampak terlihat di pekatnya malam. Atau lebih dari itu. 

Kalau hanya menyaksikan dua orang sahabat tadi pasti akan tampak jelas, siapa di antaranya yang benar-benar suci. Bukankah malam suci hanya akan mau bertemu dengan jasad yang suci?

Kehidupan manusia tidak hanya ada sejak awal ramadan. Ketika usia dua orang sahabat tadi 45 tahun, maka ada sebanyak waktu itulah daging, tulang dan darahnya dibentuk selembar demi selembar, sepotong demi sepotong, dan setetes demi setetes. Pembentuknya bukankah harus suci?

Aku hanya berbicara pada jasad, sementara manusia terdiri dari lahir (jasad) dan batin (ruhani). Kalau dari ciri lahir saja sudah sedemikian harus tampak sebuah kesucian yang dibutuhkan agar Lailatul Qadar mampu kita temukan. Apatah lagi soal batinnya. 

Setiap manusia dibekali dengan sifat yang menjadi jati dirinya. Sifat-sifat buruk seperti khianat, curang, bohong, sombong, ingkar, hasad, dengki, dan seterusnya merupakan sifat kotor. Mungkinkah kesucian akan datang pada ruhani yang kotor? Sepertinya ditolak akal. 

Bukanlah kedua sahabat tadi tidak mampu melihat apakah ada iri dengki, kecurangan, kesombongan, dan selebihnya. Yang tampak pada mata adalah kemuliaan dan pengangkatan masing-masing saja. Tentu saja sesuai persepsinya.

Akhirnya, kembali pada Lailatul Wadar yang dinantkan demikian banyak orang beriman. Masing-masing sibuk menghitung dan mengamati ciri-ciri datangnya malam kemuliaan tersebut. 

Seperti halnya hujan, mungkinkah hujan akan turun  pada suatu tempat akan memilih obyek yan akan dibasahi? Hujan akan turun dan membasahi apa pun. Tak peduli sampah, atau bunga yang sangat indah. Mereka yang menaruh ember akan dapat air hujan. Seberapa manfaat air tersebut bagi kehidupannya?

Aku masih teringat pada cerita dua orang yang teridur dalam satu ranjang. Yang satu bermimpi pengalaman yang sangat mengerikan, sementara yang lainnya bermimpi pengalaman yang sangat indah dan menggembirakannya. Padahal mereka berada dalam satu ranjang yang sama. Pada waktu yang sama?

Kedua sahabat tadi ketika berada dalam waktu tengah malam menanti datangnya Lailatul Qadar, dan pada saat itu benar-benar Lailatul Qadar turun di tempat itu, mungkinkah keduanya mendapatinya? 

Bagaimana halnya jika yang itikaf di masjid ada ratusan orang sementara yang menemukan Lailatul Qadar hanya satu atau dua orang saja?

Bukankah pada awal ramadan hingga 20 hari berikutnya daging, tulang, dan darah kita telah disucikan dengan kepalaran? Belum bersih juga? Usaha yang kita lakukan apa? 

Demikian juga begitu ramadan tiba, jiwa kita telah diajak untuk menahan diri membuang jauh yang tak terpuji. Bahkan dengan bantuan syaitan dikerangkeng dengan sangat kuat belum mampu juga kita melakukan pensucian jiwa kita?

Jika masih belum mampu menemukan Lailatul Qadar berarti jasad dan jiwa kita belum suci. Bukankah lebih baik menyibukkan diri dengan mensucikan dahulu. Nanti jika kesucian datang maka jasad dan jiwa yang suci akan saling bertemu. 

Jadi, tak perlu ada kesedihan. Jaminannya jelas! Bagi mereka yang berpuasa di bulan ramadan mengharap ridhonya maka jiwa dan tubuhnya akan disucikan dan dilahirkan kembali seperti layaknya bayi. Saat itu benar-benar suci, Fitrah di hari yang fitri. 
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar