Keadilan! Adakah Ia?

Pengadilan jadi lembaga pengadil. Tapi adakah keadilan di ruang pengadilan? Pernahkah keadilan ditegakkan? Kapan keadilan sesungguhnya akan ada?

Duhai yang Maha Pengadil, telah tercipta dua tangan, dua mata, dua telinga, dan dua kaki. Itukah tanda-Mu berbuat Adil?

Ada seorang hamba Allah yang memiliki kuasa untuk fana demi sang kekasih. Ia kemudian memohon kekasih itu kepada Allah, tapi Allah menolak. 

Tiba-tiba terdengar suara, "Aku tidak ingin engkau melihatnya." Sang hamba mendesak permintaannya dan terus memohon.

Ia berkata, "Wahai Tuhanku, Engkau telah tanamkan rasa cintaku padanya, dan rasa cinta itu tak mampu pergi."

"Apakah kau ingin ia tampak?" kata suara gaib itu. "Korbankanlah dirmu, jadilah sirna jangan sampai tersisa. Tinggalkan dunia ini."

"Aku rela Tuhanku," kata sang hamba.

Sang hamba kemudian mengorbankan dirinya demi sang krkasih hingga mendapatkan yang diinginkannya.

Adakah di antara hamba yang meminta keadilan pada Tuhannya? Atau hanya pada penguasa? Mungkin pada majikan, atau pengusaha?

Seperti cinta, bukankah keadilan lebih terasa nikmatnya. Bagaimana dua orang istri sedang berebut satu suami? Ia juga meminta keadilan. 

Diperkenankan padamu beristri dua, tiga, atau empat. Jika tak mampu berbuat adil maka sebaiknya satu saja. 

Keadilan semacam apa yang menjadi kenyang hatinya? Seperti rindu hendak bertemu kekasih, hingga sanggup mengorbankan diri menjadi fana? Padahal ia telah tak cinta pada dirinya sendiri.

Ketika tangan kanan memberikan sedekah, bukankah tangan kiri tak diizinkan menceritakan? Ketika tangan kiri meminta keadilan untuk urusan kebaikan. Selama ini pekerjaan yang dilakukan hanya dalam hal keburukan dan jelek-jelek saja. 

Bukankah pada tangan kanan semua pujian diberikan. Tempatnya menuap makanan, tempatnya salaman dan menerima penghargaan. Menuliskan kebaikan. Lalu tangan kiri hanya menyaksikan?

Jika tangan kiri tetap memaksa meminta keadilan, maka tangan kanan pun akan meminta segala perhiasan dilatakkan pada jari jemari tangan kanan. Bukankah arloji. cincin melingkar manis di jari kiri? Tangan kanan penuh perhatian dan tak beberatan. 

Keinginan kuat untuk memaksa orang lain berbuat adil, mengalahkan segalanya. Sementara keadilan bagi diri sendiri belum lengkap menjadi baju seragam hari-harinya. 

Bukankah ketika mengintip suara berbisik kita gunakan telinga kanan? Telinga kiri tak meminta kesempatan, dan membalas untuk diperhatikan. Tugasnya hanya menyimak dan mendengarkan.

Demikian juga kaki kanan dan kiri, tak pernah belomba melangkah bersama. Ketika kaki kanan di depan, kaki kiri relah dan ikhlas berada di belakang. Toh, pada waktunya kaki kiri berada di depan. Mereka bergantian. Begitukah keadilan yang digembar-gemborkan?

Sungguh, keadilan setiap hari telah hadir dan memenuhi hidup kita. Lantas mengapa banyak teriakan ketidakadilan masih disuarakan? Denggan bukti yang sungguh mencengangkan. Saling merasa diperlakukan sewenang-wenang. 

Rumi berkata, "Apa bedanya mereka berada di atas atau di bawah lampu?"

Hadirnya lampu adalah pemberi cahaya. Jika lampu mengingatkan akan pekerjaan, perbuatan, penghasilan, dan tempat tinggal, bukankah di mana saja kita mendapatkan cahaya? Tujuannya adalah bermanfaat bagi yang lain sehingga siapa saja mendapatkan cahaya. 

Bandingkan sekarang, apakah seseorang yang pada suatu ketika memasang jerat kemudian ada binatang yang terjerat. Setelah itu binarang tersebut disembelih dan dimakan atau dijual. Maka yang dilakukan orang itu disebut "licik"?

Masing-masing berada pada posisi diuntungkan dan menguntungkan. Tak ada yang dirugikan. Kematian binatang dalam jerat adalah sebab dari penghambaannya. Takdirnya memang untuk memenuhi kebutuhan penjerat. Adilkah yang demikian?

"Oh kau ingin meminta keadilan?" kata seorang ibu kepads anaknya. "Pernahkah kau berbuat adil pada sebiji nasi yang telah kau suap dan mengrnyangkanmu bertahun-tahun lamanya? 

Sementara terima kasih pun belum terucap dengan ikhlas kepada pencipta-Nya. Tak usahlah, kau belum tentu sempat.memikirkanya. Bahkan pada ibu yang memasaknya saja, dan ayahmu yang telah membawa pulang butiran berat itu saja."

"Jadi sekarang bagaimana? Masih ingin meneriakkan keadilan? Bercerminlah dan malulah pada wajah peminta itu." kata ibu memberikan petuahnya.
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar

Posting Komentar

Terima kasih telah berkenan membaca dan meninggalkan pesan