Buta dalam Kegelapan, Tersesat di Tengah Samudera Mungkin Layak Baginya

Dalam sebuah percapakan, "Aku ingin menceritakan tentang orang yang tak mengerti makna apa yang dibacanya." Seperti kapal laut yang luka, hanya sebuah ibarat. Sebentar lagi tenggelam. 

Hal yang mudah kita pahami, seperti seseorang yang sedang menyanyikan lagu cinta dalam bahasa inggris. Ia tak mengerti apakah lagu itu menyayat hati penuh kesedihan, atau sedang berbunga-bunga karena mekarnya cinta.

Yang ia tahu hanya alunan musik dari aransemen, nikmat didengar oleh telinga. Dalam setiap kesempatan didengarkan, sambil manggut-manggut penuh kenikmatan. 

Pada suatu ketika, lagu tersebut dikirimkan lada kekasihnya. Ia berharap kekasihnya sangat suka dan akan kian tambah sayang dan mencintainya. 

Apa yang terjadi? Beberapa saat setelah mendapat kiriman lagu tersebut, kekasihnya memutuskan cintanya. Apa salahnya? 

Ternyata syair lagu yang terkirim adalah sebuah pernyataan putus. Sang kekasih mengira akan diputuskan. Jelas dari pada diputuskan akan lebih bangga jika memutuskan lebih dahulu.

Demikian juga ketika sesorang membaca sebuah kitab suci, dengan bacaan yang benar. Ia membaca dengan cara yang benar, bentuk yang benar, sesuai kaidah bacaan yang telah diajarkan. Tetapi ia tidak memiliki pengetahuan tentang makna.

Terbukti, ketika ia sampai pada makna ia menolaknya. Ia membaca tanpa pengetahuan. Akan seperti seseorang yang memegang bulu tikus, saat seseorang memberikan bulu burung kasuari yang indah, ia menolaknya. 

Ia hanya tahu bulu tikus bagus, tanpa tahu tikus itu seperti apa, lambang sebuah kecurangan. Dan ketika seseorang memberikan bulu burung kasuari dan mengatakan itu adalah bulu tikus, "Apakah ini bulu tikus?" Sungguh ia tak mengetahui beda antara burung kasuari dan tikus. 

Kalau kehidupan seperti sebuah kapal, dan samudera adalah lingkungan tempat tinggal, di mana gelombang pasang surut. angit bertiup, dan kerlap kerlip bintang ketika malam dengan segala keindahannya merupakan sebuah goda yang akan menyesatkannya. 

Apa sebenarnya yang menjadi penyebab? Mari kita perhatikan anak kecil yang tumbuh dengan ketidakpedulian. Setelah akalnya mencapai kematangan, pertumbuhan tubuhnya terhenti. Tanpa pengetahuan yang dipaksa dijejalkan sungguh, baginya tak akan bertambah sedikit pun pengetahuan.

Pengalamannya ketita berada di atas kapal hanya memaksanya menikmati datangnta gelombang. Jika gelombangnya kecil ia akan berkata, "Hanya sedemikiankah gelombang yang katanya menghanyutkan dan menenggelamkan itu?" 

Kecongkakan membuatnya percaya diri bahwa pengetahuaannya telah melampaui. Hingga hidupnya tetap dinikmati. Namun, ketika gelombang dahsyat dan menyebabkan kapal satu persatu perlengkapannya luka, terkoyak-koyak. 

Apa yang ia bisa ucapkan, " Aduhai! Aku sekarang sedang menadapat siksa. Tuhan sedang tidak adil padaku!"

Keluh kesah karena ketidakpedulian yang akibatkan kesengsaraan. Ia tidak tahu caranya menyelamatkan diri. Tak mengerti bagaimana bersembunyi. Apalagi menghndari.

Badingkan dengan seorang nakhoda, pengalamannya, pengetahuannya membuat gelombang dahsyat menjadi mainan. Pada saat gelombang datang, yang ia lakukan bukan menyelamatkan diri, melainkan menenangkan penumpang. Apa sebab?

Ia mengetahui, gelombamg besar hanya akan datang ketika angin kencang. Maka ia pun bersahabat dengan angin. Dengan pengetahuannya angin memberitahu. kapan akan kencang dan kapan akan semilir. Ia hanya tersenyum atas tanda-tanda yang datang.

Setiap kita adalah pelaut, hari ini kita sedang berada di pantai. Setiap hari, setiap memulai membuka mata kita akan selalu berada di tepi pantai. Kita hanya mengira lautan biru bergelombang. Dengan pengetahuan, dengan mengerti pemaknaan yang kita baca melalui panduan-panduan yang terang dan jelas. 

Seperti dikisahkan seorang yang melakukan perjalanan jauh, pada saat singgah karena kehausan, ia diberi segelas minuman. Pengetahuannya hanya, jika haus maka perlu minum air. Tak pernah tahu rasa air itu seperti apa. Ia juga tak mengerti bahwa air akan panas ketika direbus. 

Maka pada saat air panas disuguhkan kepadanya, dengan perasaan senang ia meminum air itu. Terasa terbakar bibir, lidah dan tenggorokannya. Maka ia bertanya pada orang memberikan minuman tadi, "Di manakah air yang lezat rasanya?" 

Karena rasa kasihan pada orang yang singgah tadi, maka diberitahulah bahwa air panas perlu didinginkan agar dapat dinikmati dengan tenang. 

"Nanti ketika kau sampai di suatu tempat lagi dan jika kehausan, mampirlah di suatu tempat. Di sana akan kau dapati banyak air yang manis dan segar." kata orang itu. "Di tempat itu kau juga akan menemukan makanan-makanan lezat, tempat mandi dan berbagai kenyamanan, kesenangan dan kenikmatan lainnya." 

Apa yang dipikirkan oleh orang yang singgah tadi? Apa yang dihadapinya dengan air panas tadi telah membangkitkan prasangkanya. Lebih besar ketidaktahuannya daripada kepercayaannya. Jadilah ia mengatakan, "Ada banyak sekali orang di dunia ini yang iri dan dengki."

Kembali ke judul tulisan ini, "Mengenal kapal pelaut yang luka." Siapa mereka? Mungkin saja sebagian dari kita. Aku mungkin saja salah satu di antaranya.

Inti dari uraian panjang ini adalah, bagaimana seorang pembaca Al Quran sementara ia tak mengetahui maknanya. Padahal ada sejumlah larangan, namun tetap dilakukannya. 

Demikian juga banyak perintah, anjuran dan kesunnahan, hanya sedikit yang dilaksanakannya. Hanya karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian. 

Baginya hanya kebanggaan, fasih melafalkan dengan lagu yang mendayu-dayu. Demikian juga dengan banyaknya hapalan. Sementara hanya sedikit yang menjadi panduan dalam kehidupan. 

Seperti itulah kapal laut perlahan-lahan luka dan siap akan tenggelam dalam samudera kehidupan. Kecuali segera menyadari atas kesalahannya dan kembali mencari makna dan memperlajarinya. Sekian!

Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar

  1. Kunjungan perdana ke blog ini. Dalam sekali pesan moralnya, terutama soal membaca Alquran sekedar membaca tapi tidak mengetahui maknanya, sehingga banyak larangan agama masih dilakukan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Begitulah bang. Salam hangat. Semoga kita tidak tersesat

      Hapus
  2. Sungguh, aku sangat menyukai diksinya
    Dan oh, permisalan-permisalan itu!
    Bukan main!

    Pertanyaannya: apakah merasa tau isi seluruh barisan periuk dari aromanya di pintu masuk selanjutnya bisa dikatakan sesuatu yang manusiawi--karena sangat lumrah terjadi?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadangnsaat kita berpikir, dan sendiri itulah banyak tergelincir.
      Nalar liar pasti akan menyesatkan.

      Hapus
  3. menggenaskan.... sudahlah buta, tersesat pula....
    Thank you for sharing

    BalasHapus

Posting Komentar

Terima kasih telah berkenan membaca dan meninggalkan pesan