Berlaku Seperti Air Jernih atau Keruh

Dalam diri manusia pada dasarnya terdapat seluruh ilmu. Seperti air bening, menampakkan segala sesuatu di dasarnya. Segala pengetahuan dan keterampilan telah disediakan.

Mahluk bergerak, tumbuhan air, batu, lumpur, dan lainnya. Mencerminkan segala hal di atasnya. Ini sesuatu yang alami. Tak membutuhkan terapi dan pengajaran. 

Namun, saat air itu tercampur debu atau warna lain, maka sifat lhas tersebut akan hilang dan terlupakan. 

Orang banyak yang menyebutnya, "Habis manis sepah dibuang atau panas setahun terhapus oleh hujan sehari."

"Kalau ingin melihat dirimu aslinya, maka sering-seringlah bercermin?" kata temanku.

Betul! Hampir semua orang bercermin tiap hari. Apalagi wanita! Sering lebih senang berlama-lama di hadapan cermin. 

Sesungguhnya mereka tidak sedang menatap cermin, melainkan menatap fisiknya. Melihat seberapa putih bola matanya. Seberapa banyak kerutan di bawah kelopak mata dan di bawah dagunya. 

Selebihnya adalah kekaguman pada bentuk fisik. Hampir seluruh bagian fisik yang tampak pada cermin menjadi perhatiannya. 

Bukankah untuk mampu mengamati detail fisik yang ada dibutuhkan cermin yang lebar dan bersih? Seperti halnya cermin, untuk mampu menikmati indahnya dasar air diperlukan air yang bersih?

Aku hanya memaknainya ketika lebaran setelah ramadan, kota menyebutnya kembali fitrah yang artinya bersih dan suci. Kembali seperti air yang bening.

Seseorang pernah berkata, "Kini setiap air yang keruh akan mengenal air yang jernih dan luas seraya ia berkata, aku bagian darinya. Aku miliknya." Air keruh lantas menyatukan diri dengan air jernih. 

Air keruh yang tidak mengenal air jernih, bahkan melihatnya sesuatu yang berbeda, bukan bagian dari jenisnya, ia akan pergi bersama warna-warna dsn kekeruhan itu agar bercampur dengan air laut. Hasilnya tak akan mungkin kekeruhan bercampir dengan laut. Kalah jumlah!

Kalau air jernih adalah ibarat kedamaian sebuah kemasyarakatan. Di mana setiap orang dapat tidur dengan tenang. Pagi hari sibuk dalam gairah mencari makan. Saling senyum dengan penuh persaudaraan. 

Adakah kondisi itu sekarang? Bahkan sebelum badai covid-19 menghantam. Sebelum hujan datang dan selalu dalam teriakan, "Kebanjiran! Kebanjiran! Kebanjiran!"

Atau sering kita dapati, setiap kemarau datang teriakan juga menggema, "Kabut di mana-mana! Siapa yang bertanggung jawab?" Belum lagi kebakaran hutan, tanah longsor, gunung meletus, gempa, dan sebagainya. Bukankah semua kejadian menandakan air keruh mencampur air bersih?

Saati itu kita berfungsi sebagai apa? Home Master HydroPerfection Water Filter, Ijuk, pasir, dan lainnya. (Tidak bermaksud promosi produk) Yang aku sebutkan adalah jenis alat penjernih air. Sekadar contoh! Atau kita berpungsi sebagai lumpur, pengaduk, pewarna, peracun?

Air yang jernih ketika bercampur dengan sedikit saja air keruh ia tak akan jernih lagi. Siapa pun akan jijik meminumnya. Jika ada yang nekad meminum tampa merebusnya, alamat sakit perut. 

Air yang tidak jernih! Apalagi beracun akan membunuh perlahan mahluk hidup yang ada, terutama manusia. 

Saat ini memang waktu yang tepat untuk kembali bercermin, bukan memperhatikan fisik dan seluruh kebanggannya. Melainkan mencermati fungsi kita sebagai penghuni alam semesta.

Bagaimana sekarang? Jika dalam akuarium tempat kita hidup sebagai ikan. Pasti akan berteriak ketika air akuarium keruh. Kekeruhan perlahan-lahan yang melenyapkan oksigen dan kita tak akan kuasa berebut oksigen dengan ikan lainnya. Ikan terbesarlah yang pertama lemas dan mati.

Apa hubungannya dengan keseharian dan aktifitas kita? Tanpa kita sadari, satu kata saja mampu membuat keruh suasana. Apalagi satu kalimat, apalagi satu paragraf, dan apalagi satu bacaan. Sungguh! 

Sekecil apa pun yang kita lakukan jika berupa kekeruhan, akan menjadikan air jernih menjadi keruh. Apalagi airnya memang sudah keruh.

Sementara air yang sudah keruh akan sulit untuk dijernihkan dan kembali seperti semula. Air telaga yang telah keruh, kemudian disuling menjadi jernih tak akan lagi disebut air telaga. Sebutannya berubah menjadi air suling. 

Memang tak elok saat ini kita saling menyalahkan. Siapa yang memulai kekeruhan dan siapa yang mengaduk dan menambah lumpur di dalamnya. 

Alangkah bijak sekiranya kita tidak mampu menjernihkan air yang ada, tak menambah lumpur dan mengaduknya. Hingga kekeruhan menjadi kian keruh. Tak elok juga mendiamkan hingga keruhnya mengendap. Terlalu lama waktu dan korban pasti sempat berjatuhan.

Ada air jernih, air keruh, dan cermin. Pilihan ada pada kita. Bercermin dan kemudian berbenah. Membiarkan air tetap keruh, hingga air jernih hanya kita dapati dalam mimpi, atau kita menjadi bagian dari proses penjernihan air tersebut. 

Jika kita belum sempat mendapat manfaat dari semua usaha yang akan dan telah kita lakukan, maka anak cucu kitalah yang akan mendapatinya. Lemas berada dalam kekeruhan, atau hidup tenang bersama kejernihan dan kedamaian. 
Sumber gambar: Pixabay.com

Komentar